Minggu, September 05, 2010

Tri Mumpuni Dukung Pembatalan Proyek Solar Home System

Minggu, 05/09/2010 17:56 WIB
Tri Mumpuni Dukung Pembatalan Proyek Solar Home System
Nurseffi Dwi Wahyuni - detikFinance


(Foto: Dok detikFinance)
Jakarta - Wirausahawati sosial ‘sang penerang desa’, Tri Mumpuni mendukung pembatalan proyek solar home system (SHS) tahun 2010 untuk mengalirkan listrik pada masyarakat di wilayah pedesaan. Wanita yang pernah dipuji Presiden Obama atas keberhasilannya melistriki daerah-daerah terpencil, menilai proyek ini tidak masuk akal dan akan merugikan negara jika diteruskan.

"Saya sangat mendukung pembatalan proyek senilai Rp 560 miliar lebih itu, karena dari banyak sisi lebih menunjukkan kemudharatan daripada kemanfaatannya buat rakyat," kata Tri Mumpuni saat berbincang dengandetikFinance, Minggu (5/9/2010).

Penolakan wanita yang sukses membuat sekitar 60 desa terpencil menjadi terang benderang ini, bukanlah tanpa alasan. Menurut dia, dengan dana senilai Rp 560 miliar seharusnya listrik yang dihasilkan bisa mencapai 7 megawatt (MW), bukan 3,5 MW. Sementara jika dana itu digunakan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hydro (PLTMH), maka listrik yang dihasilkan bisa mencapai 30 MW.

"Coba anda bayangkan dengan uang Rp 560 milliar, output power yang dihasilkan dari 70 ribu keping panel PV, dengan masing-masing memiliki daya 50 watt peak, hanya 3,5 Mega Watt. Jadi sangat tidak masuk akal kalau pengeluaran yang besar seperti itu menghasilkan daya listrik yang sangat kecil, jadi ini mahal sekali," paparnya.

Selain itu, lanjut dia, proyek ini sangat rendah kandungan lokalnya karena sebagian besar perangkat solar home system buatan luar negeri.

"Berapa devisa negara yang hilang? Sampai saat ini Indonesia belum mampu membuat komponen utama solar PV tersebut, padahal orang-orang pandai di negara kita sangat banyak, namun apakah mereka mendapat dukungan R n D yang cukup," jelasnya.

Ia juga menyoroti manfaat proyek ini kepada masyarakat yang dinilai tidak optimal. Jika dilihat solar panel 50 watt peak, imbuh dia, itu hanya dapat menghasilkan rata-rata 200 watt jam setiap hari (itupun jika tidak mendung).

Daya 200 watt jam per hari adalah ekuivalen dengan menyalakan televisi sederhana berdaya rendah selama 2 jam atau setara dengan menggunakan lampu 5 watt satu buah yang menyala selama 15 jam.

"Bisakah terbayang daya serendah ini buat rumah tangga miskin sekalipun? Padahal pelanggan terendah PLN saja menggunakan daya paling tidak 450 watt," ungkapnya.

Belum lagi cara solar PV ini bekerja harus menggunakan 'power bank' untuk menyimpan daya di siang hari, cara yang saat ini umum digunakan (dengan alasan biaya murah) adalah menggunakan battery (accumulator) yang menggunakan larutan H2SO4.

Cara yang dianggap murah ini sebetulnya tergolong paling mahal saat ini, apalagi jika harus diimplementaskan pada kondisi daya beli masyarakat desa yang rendah.

Harga power banking untuk sistem H2SO4 adalah sekitar 3000 rupiah per kilo watt jam. Batere solar PV kalau dirawat dengan benar pun hanya bisa bertahan 2 tahun.

"Jadi rakyat setiap 2 tahun masih harus mengeluarkan uang 450 ribu untuk membeli batere baru. kenyataan lapangan sering menunjukkan bahwa batere hanya bertahan 3 bulan. Biasanya alat tersebut, hanya akan jadi pajangan," jelasnya.

Sebagai lembaga dan perorangan yang aktif berpartisipasi dalam memberikan aliran listrik pada masyarakat di perdesaan, ia juga sering menemui keadaan lapangan yang memprihatinkan dengan program solar home system ini. Contoh kongkrit yang kerap kali ia temui di lapangan adalah masyarakat menjual kembali solar PV untuk mendapatkan dana tunai yang cepat. Mereka biasanya menjual dengan harga 300-500 ribu per panel.

"Ironisnya masyarakat yang menerima solar PV gratis malah menjualnya dan mereka hidup dalam kegelapan kembali, jadi apa makna memberi listrik masyarakat kalau tidak berkesinambungan dan sudah terlanjur menghabiskan uang negara dalam jumlah besar," jelasnya.

Ia mengatakan, apapun yang sudah diundangankan oleh DPR melalui APBN jangan terus dijadikan harga mati harus dilaksanakan, tetap harus realistis keuntungannya apa buat rakyat.

"Dengan dibentuknya UPK4 yang dikomandoi oleh Pak Kuntoro juga jangan dijadikan alasan untuk mendomplengkan proyek yang tidak masuk akal, yang akan merugikan negara saja," ujarnya.

Wanita berjiblab ini menambahkan, rapor merah adalah nilai kinerja untuk sebuah proyek yang membawa kemaslahatan buat rakyat bukan proyek yang tidak masuk akal, seperti solar home system milik ESDM ini. Siapapun akan bingung dan tidak sanggup dengan waktu yang singkat untuk membagi solar home system yang begitu banyak ke banyak desa di wilayah nusantara yang besar ini.

"Coba kita tanya nurani kita, apakah benar ini proyek buat rakyat? Hanya Allah yang tahu jawabannya," tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar