Minggu, Juli 31, 2011

Indonesia Sulit Produksi 1,3 Juta Ton Garam 'Anti Gondok'

Minggu, 31/07/2011 16:08 WIB
Indonesia Sulit Produksi 1,3 Juta Ton Garam 'Anti Gondok'
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Kementerian Perindustrian menargetkan produksi garam petani tahun ini menembus 1,3 juta ton. Para produsen garam beryodium mengaku siap akan menyerap produksi garam tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Sekjen Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium (Aprogakop) Tanu Wikodhiono kepada detikFinance, Minggu (31/7/2011)

"Kemarin kita habis meeting, bahan soal produksi garam untuk tahun 2011 akan ada panen 1.300.000 ton, itu memang masih di atas kertas. Kira-kira bisa diserap nggak oleh pedagang, dari hasil rapat itu mereka bilang sanggup terserap semua. Selama ini garam keluar langsung dijual habis, mana ada yang nggak laku," katanya.

Terlepas dari itu, Tanu menuturkan beberapa fakta bahwa saat ini produksi garam masih belum optimal. Hingga akhir Juli 2011 kondisi cuaca masih menunjukan curah hujan yang tinggi padahal dalam keadaan normal bulan Mei seharusnya sudah terjadi panas. "Kita prediksi susah dengan cuaca seperti ini," katanya.

Ia menuturkan meski garam konsumsi rumah tangga yang dibuat oleh petani ditargetkan 1,3 juta ton, namun itu masih jauh dari kebutuhan. Kebutuhan garam untuk konsumsi tahun ini saja bisa mencapai 1,5 juta ton.

"Kebutuhan garam nasional per bulan 130-150.000 ton per bulan itu untuk rumah tangga, industri es, pabrik kulit, jadi nggak cukup, kebutuhan konsumsi dan industri kecil, kita perhitungkan 1,5 juta ton, walaupun bisa produksi 1,3 juta ton, masih harus impor 260.000 ton," katanya.

Tanu menambahkan ada sisi positif terkait kebutuhan garam dan cadangan garam nasional. Selama ini suplai tak menjadi masalah berarti, termasuk daerah polosok di Papua. Wilayah terpencil tak pernah mengalami kekurangan garam.

"Kalau garam ini sampai di Papua dan pelosok dan pedalaman tak pernah kekurangan garam berarti suplainya sangat bagus distribusinya juga,"katanya.

Sementara dari sisi harga di petani, posisi garam kini sudah membaik untuk K-1 yang dihargai Rp 750 per Kg dan K-2 dihargai Rp 550 per Kg.

Produksi garam nasional di 2010 hanya terealisasi 3,27% dari target 1,3 juta ton karena tingginya curah hujan. Sebagai gambaran pada 2009 produksi garam nasional hanya mencapai 1.265.600 ton, masih jauh lebih rendah dari kebutuhan garam sebesar 2.865.600 ton pada waktu itu diantaranya untuk industri besar, perminyakan, konsumsi rumah tangga dan industri kecil.


(hen/wep)

Emas Belum Berhenti Tembus Rekor Baru

Sabtu, 30/07/2011 13:04 WIB
Emas Belum Berhenti Tembus Rekor Baru
Wahyu Daniel - detikFinance

Foto: Reuters
Jakarta - Harga emas kembali menembus rekor baru dalam sejarah pada perdagangan Jumat kemarin. Para investor kembali menyerbu instrumen investasi aman ini karena penyelesaian utang AS kembali menemukan jalan buntu.

Lonjakan harga emas ini dibantu oleh pelemahan nilai tukar dolar AS karena investor merasa khawatir terhadap penyelesaian utang di AS dan Eropa. Sementara para politisi di AS belum juga menemukan kesepakatan untuk menyelesaikan utang pemerintah yang bakal jatuh tempo 2 Agustus ini.

"Nilai dolar makin lama semakin tidak menarik karena kondisi fiskal dan moneter yang tak mendukung," ujar analis Kathy Lien seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (30/7/2011).

Emas terus mengalami lonjakan harga setelah pemerintah AS mengatakan kondisi ekonomi cukup terguncang pada semester I-2011. Beberapa investor khawatir juga akan terjadinya risiko resesi ekonomi di AS. Ini bisa membuat harga emas terus naik.

Namun ada juga beberapa investor yang khawatir ekonomi AS bakal mengalami resesi yang dalam dan akan menekan harga-harga menjadi turun, termasuk emas yang diperkirakan bakal tertekan.

Pada perdagangan Jumat kemarin, harga spot emas menyentuk rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 1.632,3 per ounce. Naik 0,5% dari posisi sebelumnya US$ 1.623,99 per ounce.

Sementara harga perdagangan berjangka emas untuk pengiriman Desember juga naik US$ 15 menjadi US$ 1.631,2 per ounce.

Selain emas, harga perak juga naik 0,8% mejadi US$ 39,97 per ounce, tapi belum bisa kembali ke harga tertingginya di US$ 41,42 per ounce pada minggi ini.

(dnl/dnl)

Pengusaha Pusing Biaya Logistik di Indonesia Tak Kunjung Turun

Minggu, 31/07/2011 10:55 WIB
Pengusaha Pusing Biaya Logistik di Indonesia Tak Kunjung Turun
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Biaya logistik di Indonesia saat ini masih mencapai 15%, yang sangat mempengaruhi biaya produksi termasuk harga di konsumen. Angka ini tak kunjung turun bahkan cenderung terus naik.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur mengatakan, biaya sebesar 15% itu masih belum dihitung dari biaya-biaya siluman mulai dari pengiriman pabrik hingga pelabuhan.

"Bagaimana biaya logistik bisa menurun dari 15% menjadi 10% di 2015 saat berlangsungnya masyarakat ekonomi ASEAN. Biaya 15% itu belum termasuk pungli (pungutan liar), kalau dihitung sampai 30%," katanya kepadadetikFinance, Minggu (31/7/2011).

Ia mengatakan selama ini biaya logistik mencakup dukungan infrastruktur dan penunjang logistik seperti angkutan darat, laut dan udara. Semua itu, lanjut Natsir, belum banyak dibenahi pemerintah, apalagi saat ini harga barang terus naik terkerek hukum permintaan dan penawaran jelang Puasa dan Lebaran.

"Kadin tak bertanggung jawab terhadap kenaikan pangan saat ini, pemerintah tak pernah mengajak dunia usaha untuk bicara jangka pendek dan jangka panjang," katanya.

Mengenai tingginya biaya logistik, Natsir menuturkan Indonesia termasuk yang paling tinggi di ASEAN. Negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina sudah mencatat biaya lebih rendah rata-rata di bawah 10%. Bahkan Jepang sebagai negara maju sudah di bawah 5%.

"Ambil contoh Filipina sudah 10%, dua tahun lalu sudah dibenahi oleh mereka. Kita masuk nomor urut 7 dari negara ASEAN, pertama Singapura 6%, Thailand 7%, Malaysia, Vietnam," jelas Natsir.

Kadin mengusulkan dalam jangka pendek dan menengah perlu adanya revitalisasi di pelabuhan-pelabuhan termasuk pelayanan di bea dan cukai. Selain itu perlu adanya peremajaan angkutan truk, kereta api dan lain-lain. Meskipun Natsir mengakui pemerintah sudah menyiapkan cetak biru sistem logistik nasional namun belum terealisasi.

"Misalnya ada usulan untuk angkutan darat, untuk impor baja bea masuknya dikurangi dari 15% menjadi 5%," katanya.

(hen/wep)

Kompas Gandeng Sinarmas Bangun Convention Hall Rp 1,5 Triliun di Serpong

Kamis, 28/07/2011 11:49 WIB
Kompas Gandeng Sinarmas Bangun Convention Hall Rp 1,5 Triliun di Serpong
Whery Enggo Prayogi - detikFinance

Jakarta
- Kelompok Kompas Gramedia bekerja sama dengan Sinarmas Land berencana membangun Convention & Exhibition Hall di Serpong. Dengan menempati luas bangunan 150 ribu m2, proyek ini akan menghabiskan dana Rp 1,5 triliun.

Demikian disampaikan Direktur PT Dyandra Media International Danny Budhiarto, di Hotel Santika Jakarta, Kamis (28/7/2011). Dyandra adalah salah satu anak usaha Kompas Gramedia.

Convention Hall ini akan menjadi yang terbesar di Indonesia. Di mana penandatanganan kerja sama di antara Kompas dan Sinarmas Land dilakukan hari ini, Kamis (28/7/2011).

Menempati area 25 ha, bangunan ini akan mulai dikerjakan di 2012 dan akan tuntas satu tahun berselang.

"Untuk pembangunan Convention dan exhibition ini, Sinarmas Land dan Kompas Gramedia membentuk joint venture dengan nama PT Indonesia Expo, joint venture terbentuk satu bulan lagi," tambah Danny.

Menurut pendiri Kompas, Jakob Oetama, pendirian Convention Hall dilatarbelakangi semakin banuk pameran yang diadakan di Indonesia. Untuk kelas internasional tentu membutuhkan prasarana yang lengkap dan berstandar tinggi. Baik lokasi, kapasitas ataupun fasilitas.

"Diharapkan dengan kerja sama ini menandakan perkembangan bagi dunia MICE (Meetings, Incentives, Conventions and Exhibitions) di Indonesia yang memiliki potensi yang sangat besar," kata Chairman Sinarmas Land, Muktar Widjaja.

Bisnis MICE terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Di mana Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia mencatat jumlah pameran dari 265 pameran pada 2010 meningkat menjadi 324 pameran pada 2011.

(wep/dnl)


Pengembang Properti Panen Untung Rata-rata di Atas 100%

Minggu, 31/07/2011 16:37 WIB
Pengembang Properti Panen Untung Rata-rata di Atas 100%
Whery Enggo Prayogi - detikFinance

Jakarta - Pengembang properti tengah menikmati panen untung karena harga perumahan dan apartemen terus mengalami kenaikan signifikan sejak awal tahun.
Para emiten properti yang mencatatkan sahamnya di pasar modal pun telah menikmati kenaikan keuntungan bersih rata-rata 105,49% sepanjang semester I-2011.

Berdasarkan data laporan keuangan semester I-2011 delapan emiten properti besar yang tercatat di situs Bursa Efek Indonesia (BEI), seperti dikutip detikFinance di Jakata, Minggu (31/7/2011) terlihat mencatat pertumbuhan laba bersih yang signifikan.

Pertumbuhan paling tinggi terlihat pada PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Anak usaha Grup Lippo ini mencatat pertumbuhan laba bersih 193,81% menjadi Rp 98,49 miliar hingga Juni 2011, dari posisi tahun lalu Rp 33,46 miliar. Prestasi LPCK ini disebabkan oleh akumulasi pendapatan usaha yang mencapai Rp 388,701 miliar. Pendapatan perseroan naik 85,95% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 209,025 miliar.

Perseroan semakin menebalkan pundi-pundi keuntungan setelah mencatat pendapatan lain-lain Rp 1,793 miliar, setelah pada periode yang sama tahun lalu hanya membukukan pendapatan lain-lain Rp 425,54 juta. Laba bersih per saham LPCK hingga Juni pun mencapai Rp 141,51, naik dari sebelumnya Rp 48,08 per lembar.

Emiten properti lain yang juga anak usaha keluarga Riyadi adalah PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Perseroan mencatat pertumbuhan laba bersih Rp 357,101 miliar atau meningkat 39,97% dari periode sebelumnya Rp 255,11 miliar. Laba bersih per saham hingga Juni ini mencapai Rp 13,65, naik tipis dari sebelumnya Rp 12,78.

Pencapaian laba bersih di semester I-2011 ini tidak lepas dari pendapatan perseroan yang juga tumbuh dari Rp 1,463 triliun tahun lalu menjadi Rp 1,883 triliun.

Kemudian, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) yang mencatat kenaikan laba 148,54% dari Rp 182,54 miliar di semester I-2010 menjadi Rp 435,69 miliar di semester I-2011. Laba bersih per saham Rp 22,17 naik dari sebelumnya Rp 16,69 per saham.

Laba BSD City disumbang oleh pendapatan yang naik tipis menjadi Rp 1,286 triliun, dari periode sebelumnya Rp 1,117 triliun.

Pertumbuhan laba juga dialami perusahaan grup Sinarmas Land lainnya, PT Duta Pertiwi Tbk (DUTI). Laba perusahaan pengelola trade center ini hingga semester I-2011 mencapai Rp 154,932 miliar atau naik 5,34% dari periode yang sama tahun lalu Rp 147,072 per lembar.

Laba bersih per saham tercatat Rp 70,62 atau tumbuh dari periode sebelumnya, Rp 64,66. Peningkatan laba disebabkan oleh pendapatan yang juga naik tipis dari Rp 445,68 miliar menjadi Rp 457,09 miliar.

Pengembang properti lain mencatat prestasi mengesankan adalah PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI). Mereka mencatat laba bersih Rp 289,92 miliar, naik 133,65% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesarr Rp 124,09 miliar.

Laba bersih per saham Alam Sutera mencapai Rp 16,2, naik dari periode sebelumnya yang hanya Rp 6,94 per saham. Laba yang naik dua kali lipat ini tidak lepas dari hasil penjualan bersih perseroan yang mencapai Rp 706,392 miliar di semester I-2011. Penjualan melesat dibandingkan tahun lalu, Rp 396,77 miliar.

Perusahaan properti grup Bakrie, PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) juga mengalami kenaikan laba yang fantastis sebesar 155,85%. Laba per Juni perseroan mencapai Rp 180,89 miliar. Bandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 70,7 miliar.

Laba bersih per saham dasar juga meningkat dari Rp 4,08 per lembar di semester I-2010 ke Rp 4,11 per lembar tahun ini. ELTY memang mencatat kenaikan pendapatan bersih 94,4% menjadi Rp 1,044 triliun di semester I-2011, dari periode sebelumnya Rp 537,5 miliar.

Grup properti lain adalah Ciputra, melalui anak usahanya PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Ciputra Surya Tbk (CTRS) yang proyeknya banyak di wilayah Jawa Timur. Laba CTRA naik 40,25% menjadi Rp 217,18 miliar, dari periode yang sama tahun lalu Rp 152,84 miliar.

Sementera CTRS mengalami peningkatan lainnya 126,55% dari tahun lalu Rp 47,98 miliar menjadi Rp 108,7 miliar di semester I ini. Namun tetap saja ada emiten properti yang mengalami penurunan laba, yakni PT Ciputra Property Tbk (CTRP). Anak usaha Ciputra yang fokus pada pengembangan apartemen dan pusat perbelanjaan ini mencatat laba besih Rp 83,13 miliar, turun tipis 0,74% dari periode yang sama tahun lalu Rp 83,76 miliar.
(wep/hen)

Sabtu, Juli 02, 2011

IMF peringatkan betapa rapuhnya perekonomian AS saat ini

Kamis, 30 Juni 2011 | 14:47 oleh Rizki Caturini , Sumber : BBC
KRISIS EKONOMI DUNIA
IMF peringatkan betapa rapuhnya perekonomian AS saat ini

NEW YORK. International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa utang yang dimiliki AS saat ini bukan masalah yang akan berkelanjutan. Namun, AS harus sangat berhati-hati melangkah dalam pemulihan ekonomi yang saat ini masih sangat rapuh.

IMF melaporkan, prediksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini sebesar 2,5% dan sebesar 2,7% di 2012. Angka ini berada di bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi AS dari The Fed yang sebesar 3,3% di tahun depan.

Defisit anggaran AS diproyeksikan mencapai US$ 1,4 triliun tahun ini, di atas defisit tahun lalu yang sebesar US$ 1,29 triliun. Namun, angka ini masih tipis di bawah defisit anggaran AS pada 2009 yang sebesar US$ 1,41 triliun.

Dalam evaluasi ekonomi tahunan AS, IMF mendesak Washington untuk mencapai kesepakatan untuk menaikkan batas pinjaman pemerintah.

Pemerintahan Barack Obama dan kongres saat ini masih mengalami kebuntuan dalam negosiasi pemotongan anggaran sebelum persetujuan untuk meningkatkan plafon utang pemerintah.

Utang AS saat ini sudah mencapai batas yakni sebesar US$ 14,3 triliun. Negara ini harus segera meningkatkan plafon utang sebelum 2 Agustus 2011 untuk menghindari default alias gagal bayar.

IMF mengatakan, kegagalan mencapai kesepakatan peningkatan plafon utang akan menyebabkan peringkat utang AS menurun dan akan membuat suku bunga bank menanjak.

"Hal ini juga berisiko terhadap global, mengingat peran sentral obligasi Departemen Keuangan AS di pasar keuangan dunia," ujar juru bicara IMF.

http://internasional.kontan.co.id/v2/read/1309420064/71590/IMF-peringatkan-betapa-rapuhnya-perekonomian-AS-saat-ini

Resesi global memuncak di 2013

Selasa, 14 Juni 2011 | 09:18 oleh Amal Ihsan Hadian, Reuters, Bloomberg
RESESI GLOBAL
Resesi global memuncak di 2013

SINGAPURA. Ancaman resesi global akan menghantui perekonomian dunia hingga lima tahun ke depan. Badai besar bencana fiskal yang memukul Amerika Serikat (AS), restrukturisasi utang yang terus melilit Eropa, stagnasi ekonomi Jepang, dan pelambatan ekonomi di China, bakal mendorong dunia memasuki babak baru resesi berkepanjangan.

Ini ramalan terbaru Nouriel Roubini, profesor ekonomi dari Universitas New York. Roubini sebelumnya secara akurat meramal bencanasubprime mortgage di AS tahun 2005 dan kehancuran finansial dunia tahun 2007-2009. Kini ia meramal, puncak krisis akan terjadi 2013. "Seluruh variabel ekonomi menunjukkan kekhawatiran dan kerentanan," kata Roubini, dalam ceramahnya di Singapura, Senin (13/6).

Bursa saham di seluruh dunia misalnya, praktis sudah lemas. Sejak Mei lalu, dana yang cabut sudah mencapai US$ 3,3 triliun.

Menurut hitungannya, pelemahan pasar finansial dunia bakal mencapai konvergensi atau pertemuan pada suatu titik baru pada 2013. "Semua elemen risiko bakal bertemu di tahun itu," katanya.

Pasca 2013, model dinamika ekonomi global bakal kepayahan mengikuti perkembangan negatif yang terjadi. Dunia sudah tidak bisa lagi mengandalkan AS sebagai penggerak ekonomi dunia. Malah, kebijakan AS, yang masih berjuang lepas dari lilitan defisit fiskal dan stagnasi pertumbuhan domestik, bakal menimbulkan gangguan pada ekonomi negara lain.

Repotnya, "kuda" lain penggerak ekonomi dunia, seperti Eropa dan Jepang, masih terus direpotkan urusan domestik masing-masing. Sementara China, dinilai tidak memiliki keinginan memikul tanggung jawab mendorong ekonomi dunia. Selama ini, kebijakan Pemerintah China hanya bertujuan melindungi ekonomi dalam negerinya. Adapun India dan Brasil, belum cukup kuat sebagai penarik gerbong ekonomi global.

Karena itu, Roubini menyebut, filosofi ekonomi pasca 2013 adalah zero sum game. Keuntungan satu negara berarti kerugian untuk negara lain. Ia meramal, konflik dalam hubungan internasional akan semakin marak. "Sulit berkoordinasi di kebijakan makro, regulasi finansial dan perdagangan," katanya.

Baik, meski masih pucat

Roubini menilai, bisa saja perhitungan konvergensi resiko yang memuncak itu tidak terjadi pada tahun 2013. "Ekonomi global bisa baik-baik saja sampai 2013, meski kondisinya masih pucat," ungkapnya.

Ekonom kelahiran Turki tersebut menjadi terkenal karena kesuksesannya jauh-jauh hari meramal beberapa krisis ekonomi global. Mantan profesornya di Harvard, Jeffrey Sachs, mengakui, bakat intuisi dan kemampuan perhitungan matematika Roubini sejak dulu. Sementara peraih Nobel Ekonomi, Paul Krugman, menilai, ramalan Roubini sangat jarang meleset.

Bisa jadi, ramalan kali ini juga menjadi kenyataan. Kemarin, di hari yang sama dengan saaat Roubini merilis ramalan, Bank Sentral China merilis data penyaluran kredit bulan Mei lalu turun dari 650 miliar yuan menjadi Y 551 miliar yuan. Ini sesuai kebijakan bank sentral menaikkan bunga untuk menahan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

Di saat bersamaan, aktivitas pembelian mesin industri di Jepang, yang selama ini meningkat, malah turun 3,3%. Meski kecil, ini mengkhawatirkan. "Ini gejala awal pertumbuhan bakal melambat," kata Junko Nishioka, Analis RBS Securities Tokyo.

http://internasional.kontan.co.id/v2/read/1308017889/70124/Resesi-global-memuncak-di-2013

Census Update: What the World Will Look like in 2050

Census Update: What the World Will Look like in 2050

Here is the world in 2050, as imagined by the U.S. Census Bureau: India will be the most populous nation, surpassing China sometime around 2025. The U.S. will remain exactly where it is now: in third place, with a population of 423 million (up from 308 million in 2010). And declining birth rates in two of the world's most economically and politically influential countries, Japan and Russia, will cause them to fall from their current positions as the 9th and 10th most populous nations, respectively, to 16th and 17th.

The findings are the result of population estimates and projections of 228 countries compiled by the U.S. Census Bureau's International Data Base (IDB). They offer a revealing look into the future. "One of the biggest changes we've seen has been the decline in fertility in some developed countries such as China," says Loraine West , an IDB project manager, "while others are experiencing a slight increase." In other words, China's population boom is finally slowing down while Western Europe's long-declining birth rate is - in some places, at least - rising again. Spain and Italy are "on an uptick," says West, "but how high will [the birth rate] rise? Or will it simply fluctuate up and down on some long term level? We'll have to see." According to Italy's The National Institute of Statistics, the country's recent population increase can be largely attributed to its own immigrant population. See TIME's "Intelligent Cities.")

The two countries on track to make the biggest population gains are Nigeria and Ethiopia. Nigeria currently boasts 166 million people, but by 2050 its population is expected jump to 402 million. Ethiopia's population will likely triple from 91 million to 278 million, bringing the east African nation into the one of the top 10 most populous countries in the world for the first time. In fact, according to the United Nations Population Division, although only 18% of the world's population lives in so-called "high-fertility" countries (places where women have more than 1.5 daughters on average), most of those countries are in Africa; the continent is expected to experience significant population growth in the coming decades, which could compound the already-dire food supply issues in some African nations.

While the U.S. appears relatively stable - it's the only country in the top 10 whose ranking is not expected to change in the next 40 years - previous census reports have highlighted dramatic demographic shifts within the country's borders. Last week, the Census Bureau announced that more than half of children under two in the U.S. are ethnic minorities. Add to that the non-Hispanic white population's increasing age (in California, for example, the median age for non-Hispanic whites is almost 10 years older than that of the state as a whole) and America in 2050 will look a lot different than the America we know today. (See TIME's video: 10 Questions for Robert Groves.)

Perhaps the most unfortunate change is the one currently experienced by Russia. The cold, vast country has been undergoing steady depopulation since 1992 and the U.S. Census Bureau expects it to decline further, from 139 million people to 109 million by 2050. That's a 21% drop, even more than country suffered during World War II. Like many countries, Russia is experiencing declining birth rates, but it's also suffering form a relatively low life expectancy. According to the World Health Organization, Russian men have a life expectancy of just 62 years, a fact that is often attributed to the country's high rate of alcoholism and poor diet. (For comparison, Japan is also struggling with depopulation, but the World Health Organization puts its life expectancy at 80 for men and 86 for women).

So what does this mean? The U.S. is not yet experiencing the kind of population decline that Europe experienced in the 1990s and 2000s, although immigration and differing birth rates among races means that the country's ethnic composition is changing. Something similar will be going on in the rest of the world, as well: Africa and India's boom, Russia's decline and China's expected plateau (holding steady around 1.3 billion people between now and 2050) will change the makeup of the estimated 9.4 billion people who will call Earth home in 2050. The future, it seems, is not as distant as we think.

See "The Hispanic Mortality Paradox: Why Do Latinos Outlive Other Americans?"

See TIME's Pictures of the Week.

View this article on Time.com

http://news.yahoo.com/census-world-look-2050-084801254.html