Minggu, Januari 30, 2011

Hacker Buat Akses Internet Darurat di Mesir

Hacker Buat Akses Internet Darurat di Mesir
Mereka juga memanfaatkan faksimili dan radio amatir untuk berkomunikasi.
MINGGU, 30 JANUARI 2011, 12:19 WIB
Indra Darmawan

VIVAnews - Upaya pemerintah Mesir memblokir internet di negaranya untuk melumpuhkan jalur komunikasi kelompok oposisi, memunculkan upaya-upaya kelompok aktivis internasional untuk memulihkan koneksi internet di negara itu.

Kelompok aktivis internet Telecomix serta kelompok hacker Anonymous dikabarkan berupaya untuk membangun kembali infrastruktur internet darurat di Mesir dengan membangun akses point internet sendiri dan memanfaatkan saluran kabel telepon luar negeri.

Seperti dikutip dari Forbes, sejak Kamis malam waktu setempat, Mesir memang telah memblokir akses internet dari empat penyedia internet (ISO) terbesar mereka: Link Egypt, Vodafone/ Raya, Telecom Egypt, dan Etisalat Misr.

Bahkan, tak hanya koneksi internet, Mesir juga memblokir layanan SMS di negaranya. Hal itu dilakukan oleh pemerintah, karena selama ini kelompok oposisi memanfaatkan jejaring sosial untuk melakukan komunikasi dan koordinasi dalam melaksanakan aksi-aksi mereka.

Akibatnya, beberapa aktivis Mesir kini memanfaatkan radio amatir untuk saling berkomunikasi. "Internet tidak berfungsi, mobil polisi terbakar. Hari ini menandai hari besar bagi sejarah Mesir," ujar seorang warga Mesir yang menggunakan sandi Morse lewat radio amatir.

Namun, setidaknya hingga kini jaringan telepon kabel di Mesir tetap bisa berfungsi. Oleh karenanya, kelompok hacker Anonymous, bahkan sempat mengirimkan dokumen-dokumen bocoran WikiLeaks tentang kekejaman dan kebrutalan rezim Hosni Mubarak melalui faksimili, ke sekolah-sekolah di Mesir.

Mereka menghimpun database nomor faksimili milik perusahaan dan sekolah-sekolah di Mesir dengan cara mencarinya di mesin pencari Google. Selain itu, Telecomix juga memantau saluran radio amatir, untuk membangun komunikasi dengan kelompok oposisi lokal.

“Kami berdiri di belakang rakyat kecil yang tengah berjuang melawan pemerintahnya. Kami percaya, orang-orang perlu melihat kebenaran, karena kini mayoritas Internet Mesir mati sehingga publik tidak bisa mengakses informasi vital ini,” kata salah satu sumber dari kelompok Anonymous.

Sebelumnya, hacker Anonymous dikenal sebagai kelompok hacker yang membela situs pembocor rahasia WikiLeaks dan melakukan serangan terhadap pihak-pihak yang dianggap memusuhi WikiLeaks, seperti PaypPal, Visa, atau MasterCard.

Sebelum pemerintah Mesir memblokir akses internet, Anonymous juga sempat menargetkan serangan Distributed Denial of Service (DDoS) terhadap situs-situs pemerintahan Mesir, khususnya situs Kementrian Komunikasi dan Teknologi Informatika Mesir. (hs)

• VIVAnews


Menggagas 'Mindset Promosi Dagang' Indonesia di Era Informatika

Senin, 24/01/2011 11:56 WIB
Kolom Telematika
Menggagas 'Mindset Promosi Dagang' Indonesia di Era Informatika
Penulis: Purna Cita Nugraha - detikinet



ilustrasi (inet)

Jakarta - Era globalisasi salah satunya ditandai dengan proses terintegrasinya perekonomian, masyarakat, dan budaya ke dalam suatu jaringan global melalui teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi kini tampil sebagai intangible agent of change yang mengubah prilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global.

Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.

Salah satu penemuan di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah internet (interconnection networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Pola komunikasi melalui internet telah mengubah wajah dunia perdagangan dari pola perdagangan tradisional ke dalam bentuk yang lebih modern, yaitu bentuk perdagangan secara virtual yang dikenal dengan electronic commerce (e-commerce).

Transaksi perdagangan melalui internet (e-commerce) sangat menguntungkan, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati oleh para pelaku usaha (business to business) karena telah mengubah cara para pelaku usaha tersebut dalam memperoleh produk yang diinginkan, mempermudah proses dalam pemasaran suatu produk (promosi) serta berbisnis dengan counterpart di luar negeri.

Penulis melihat adanya urgensi bahwa perkembangan cara baru dalam berbisnis serta pangsa pasar internet Indonesia yang sekarang berjumlah sekitar 45 juta orang, dapat menjadi suatu pertimbangan bagi Pemerintah khususnya Perwakilan Indonesia di luar negeri (KBRI maupun KJRI) untuk menjadikannya peluang yang potensial dalam mengupayakan promosi terkait perdagangan di luar negeri dan peningkatkan perekonomian Indonesia.

Mengubah Mindset


Sebagian besar Perwakilan Indonesia di luar negeri masih mengedepankan kunjungan dan pertemuan bisnis (business meeting) sebagai salah satu sarana dalam mempromosikan perdagangan.

Dalam hal ini, pihak perwakilan Indonesia di luar negeri mengundang para pelaku usaha dari Indonesia (atau sebaliknya) untuk melakukan serangkaian kunjungan dan pertemuan bisnis dengan pengusaha dan para pelaku usaha di wilayah akreditasinya untuk menjajaki peluang bisnis yang ada.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cara ini telah berkontribusi dalam mempromosikan perdagangan Indonesia selama ini. Namun, di sisi lain, cara ini juga dikenal high cost budgetdan seringkali kunjungan dan pertemuan bisnis (business meeting) yang diadakan kemudian tidak menghasilkan kesepakatan bisnis yang real.

Dengan adanya trend dan kecenderungan Pemerintah dalam merampingkan birokrasi dan memotong serta merampingkan budget, maka Perwakilan di luar negeri dituntut untuk kreatif dan adaptif dalam mengakomodir perubahan-perubahan tersebut. Adanya trend dan kecenderungan tadi serta perkembangan teknologi yang ada saat ini membuat upaya promosi perdagangan dengan mengedepankan kunjungan dan pertemuan bisnis (business meeting) kemudian menjadi tidak feasible dan relevan lagi.

Perwakilan Indonesia di luar negeri sudah saatnya, disiapkan untuk tidak lagi sebatas melakukan pendekatan business as usual dalam mengupayakan promosi perdagangan Indonesia di luar negeri.

Pendekatan tadi sudah out of date, sehingga mau tidak mau harus beralih ke pendekatanbusiness as casual. Pendekatan business as casual merupakan suatu paradigma berbisnis dengan cara yang sederhana, biaya yang relatif lebih murah, dan birokrasi yang ramping.

Cara yang sederhana dan biaya yang relatif murah dapat dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan internet semaksimal mungkin untuk keperluan promosi perdagangan di luar negeri.

Sedangkan birokrasi yang ramping sebenarnya satu nafas dengan semangat pemerintah dalam menggiatkan e-good governace dalam memotong dan merampingkan birokrasi.

Langkah-langkah nyata terkait dengan pendekatan business as casual yang dapat diupayakan oleh Perwakilan Indonesia di luar negeri dan para pelaku usaha, yaitu:


  1. Mengidentifikasi dan menginventarisir company list/profile yang ada di Indonesia;
  2. Mengirimkan company list/profile tersebut kepada Departemen Perdagangan atau lembaga/institusi promosi perdagangan Negara akreditasi terkait;
  3. Departemen Perdagangan atau lembaga/institusi promosi perdagangan Negara akreditasi tersebut akan mengirimkan company list/profile dari perusahaan-perusahaan di negaranya yang potensial untuk menjadi counterpart bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia tersebut kepada Perwakilan Indonesia;
  4. Baik Perwakilan Indonesia dan Departemen Perdagangan atau lembaga/institusi promosi perdagangan Negara akreditasi tersebut dapat mengirimkan masing-masing company list/profile kepada perusahaan-perusahaan yang akan menjadi counterpart dalam menjajaki peluang bisnis;
  5. Dengan informasi yang didapat perusahaan (para pelaku usaha) tersebut, masing-masing pihak dapat melakukan komunikasi bisnis yang efektif secara mandiri;
  6. e-commerce;
  7. Kesepakatan dan perjanjian bisnis. Semua langkah-langkah di atas, dapat dilakukan secara sederhana, dengan biaya yang murah dan birokrasi yang tidak berbelit-belit dengan menggunakan media internet.

Semua proses juga dapat dilakukan tanpa harus bertemu muka (faceless). Komunikasi bisnis di antara para pelaku usaha dapat diupayakan dengan menggunakan fasilitas secure chat rooms, video conference, webcam, ataupun dengan menggunakan layanan BlackBerry Messenger. Sedangkan, informasi mengenai produk, penawaran, permintaan, kesepakatan dan perjanjian bisnis di antara para pihak dapat dilakukan dengan sistem e-commerce.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 25 Maret 2008 oleh DPR, secara hukum para pelaku usaha yang melakukan bisnis dengan e-commerce akan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Hal ini membuktikan bahwa pranata hukum di Indonesia sebenarnya telah siap untuk mengantisipasi dan mengawal jalannya sistem e-commerce ini.

Pemerintah sebagai Penyedia Platform


Peran pemerintah dalam hal ini jelas, sebagai fasilitator dan penyedia platform bagi para pelaku usaha (perusahaan), para pelaku usaha yang kemudian lebih dituntut untuk pro-aktif dalam menjalankan usahanya. Dapat dikatakan bahwa para pelaku usaha sendiri yang akan menjadi agen promosi dari usahanya tersebut.

Terkait dengan peran pemerintah tersebut, alangkah baiknya apabila pemerintah membuat suatu website yang berisi company list perusahaan-perusahaan terpercaya di Indonesia yang di-endorse oleh pemerintah sebagai upaya untuk memberikan kepercayaan dan jaminan bagi para pelaku usaha dari Negara-negara lain untuk berbisnis dengan para pelaku usaha tersebut.

Memang tidak dapat diabaikan fakta bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia mungkin belum akrab dengan teknologi ini, oleh karena itu di sini peran pemerintah dibutuhkan dalam mendorong percepatan penguasaan teknologi ini (social engineering).

Hal ini dapat diwujudkan dengan menyediakan sentral-sentral bisnis di setiap daerah lengkap dengan komputer dan koneksi internet di dalamnya, sehingga mau tidak mau pelaku usaha yang ingin bersaing dalam melakukan ekspansi bisnis harus mau belajar untuk mengunakan internet dalam mengakses layanan sentral bisnis tersebut.

Teknologi informasi seyogyanya dimanfaatkan untuk tujuan peningkatan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, penulis optimis bahwa semakin canggih teknologi yang dimanfaatkan akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.



PurnaTentang Penulis: Purna Cita Nugraha, S.H.,M.H., adalah Junior Diplomat yang saat ini sedang bertugas di KJRI Cape Town. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak terkait institusi.
( wsh / wsh )

Sabtu, Januari 29, 2011

In Dubai, the state of The World is in dispute

In Dubai, the state of The World is in dispute

Islands in the mega-project 'The World' (Nakheel via Getty Images)

In Dubai, the state of The World is in disputeAFP/File – An aerial view shows a cluster of man-made islands known as "The World". The cluster of 300 …

DUBAI (AFP) – A cluster of 300 artificial islands off Dubai's coast in the shape of a global map is stable, its developer Nakheel insists, despite a court claim alleging that "The World" was neglected and eroding away.

"There is no issue with the stability of The World islands that are approximately 70 percent sold and handed over," a Nakheel spokesman said when asked about the allegations.

"The island purchasers (have) the responsibility to proceed with their developments in due course," he added.

The islands, many of which represent individual countries and which can only be accessed by boat or helicopter, were meant to be one of the Gulf city-state's crowning developments.

Builders have announced plans for a few of the islands, but development has yet to begin on most of them.

A company contracted to provide logistics support to the islands filed a claim with a tribunal that handles cases related to the emirate's troubled Dubai World conglomerate, alleging that third-party developers had not been encouraged to develop the islands, and said they were being hit by erosion.

Nakheel subsidiary The World LLC "did not develop the project as anticipated at the time of the agreement and the project has lain largely undeveloped," according to the claim filed by Penguin Marine Boats Services LLC.

Penguin is contracted to pay "a licence fee of 5 million dirhams ($1.36 million dollars) per annum" to conduct operations, but the lack of development on the islands means it has "been unable to develop its business opportunities," the claim said.

Additionally, "the navigation channels... are presently so ill-defined and the water depths have been so seriously eroded due to reclaimed sand silting up the navigation channels that major reclamation works will henceforth be required," it said.

A lawyer for Penguin Marine, Richard Wilmot-Smith, was quoted by local media as having told the tribunal that "the islands are gradually falling back into the sea."

Nakheel dismissed the allegations as "misleading and mischievous statements."

"The wholly incorrect and unsupported assertion relating to the state of The World islands was made in the context of a legal case brought against The World LLC by a logistics provider," the spokesman said.

"Nakheel will continue to protect the interests of its operations and stakeholders and take such action as is appropriate in the circumstances," he added.

The spokesman said that the case "was dismissed with costs awarded in favour of The World LLC. We are vindicated by the court's decision."

However, a final judgment with reasons for the decision has not yet been posted to the tribunal's website, where judgments appear after they have been issued.

Abu Dhabi-based English-language daily The National said that the tribunal ruled against Penguin but has not yet given its reasons for doing so.

Lawyers for Penguin Marine declined to comment, and the company's general manager Alex Labor said only that "Penguin's position is... what our lawyers said during the trial."

Nakheel, which developed Dubai's iconic palm-shaped islands and the Atlantis luxury hotel among other developments, was hard-hit by the global economic crisis, which led to a sharp fall in Dubai real estate prices.

Nakheel was to split from parent company Dubai World, which rocked global financial markets when it announced in November 2010 that it needed to freeze debt payments, under a debt restructuring plan.

http://news.yahoo.com/s/afp/20110128/wl_mideast_afp/uaepropertylitigation_20110128112334

Misi Global Menyelamatkan Bisnis Telepon Kabel

Jumat, 28/01/2011 20:44 WIB

Misi Global Menyelamatkan Bisnis Telepon Kabel
Achmad Rouzni Noor II - detikinet



Jakarta - Pendapatan bisnis dari telepon kabel praktis tergerus sejak telepon seluler menjadi bagian gaya hidup masyarakat yang mobile. Selama ini, telepon kabel masih bisa bertahan karena masih digunakan di kalangan perkantoran.

Pendapatan Telkom dari layanan telepon kabel (fixed wireline) hingga Agustus 2010 tercatat mengalami penurunan 7,5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Pencapaian ini sebenarnya lebih baik dibanding pertumbuhan periode Agustus 2008 ke Agustus 2009 yang mencapai negatif 16,7%.

"Itu semua tidak terlepas dari berbagai upaya yang terus dilakukan Telkom melalui program-program perbaikan bisnis berbasis layanan telepon tetap," ujar Eddy Kurnia, Head of Corporate Communication Telkom kepada detikINET, Jumat (28/1/2011).

Sejatinya, tren penurunan pendapatan maupun jumlah pelanggan telepon kabel merupakan kecenderungan yang melanda operator telekomunikasi global seiring perubahan gaya hidup masyarakat yang diwarnai mobilitas tinggi.

Di Italia, selama tahun 2009 pertumbuhan pendapatan Telecom Italia dari sektor telepon tetap hanya mencapai minus 9,6% dengan pertumbuhan jumlah LIS (line in service) minus 7,5%.

Begitu pun dialami China Telecom, Telecom Malaysia, PLDT (Filipina), dan Telstra (Australia). Tahun 2009, China Telecom tercatat hanya membukukan pertumbuhan pendapatan minus 18,5% dengan pertumbuhan LIS minus 9,5%, Telecom Malaysia minus 9,3% dengan pertumbuhan LIS 0,6%, PLDT minus 3,5% dengan pertumbuhan LIS 1,9%, Telstra minus 4,9% dengan pertumbuhan LIS minus 1,7%.

"Pencapaian pertumbuhan tersebut sebenarnya belum tentu yang terburuk dibanding periode-periode sebelumnya," kata Eddy.

( wsh / ndr )

Banyak Gratisan, Bisakah Antivirus Jadi Lahan Bisnis?

Kamis, 27/01/2011 15:56 WIB
Bocah SMP Garap Antivirus
Banyak Gratisan, Bisakah Antivirus Jadi Lahan Bisnis?
Wicak Hidayat - detikinet



Ilustrasi (inet)

Jakarta - Pengguna komputer selama ini sudah kadung dimanjakan dengan banyaknya pilihan software antivirus gratis. Lalu apa ini berarti pengembang aplikasi tak bisa mencari untung dengan membuat aplikasi pembasmi virus?

Menurut praktisi antivirus dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, peluang bisnis dari aplikasi antivirus tentu saja masih terbuka lebar. Asalkan, si pengembang dapat mencari model bisnis yang tepat untuk produk antivirusnya.

Termasuk bagi pembuat antivirus yang newbie sekalipun, seperti Arrival Dwi Sentosa, bocah SMP yang sudah berhasil membuat antivirus Artav. "Tentu saja ada kemungkinan berhasil," tukasnya kepada detikINET, Kamis (27/1/2011).

Memang, Alfons sanksi jika Ival -- sapaan bocah 13 tahun itu -- mampu membuat perusahaan pengembang antivirus yang profesional untuk sekarang ini. Pasalnya, diperlukan modal yang tidak sedikit untuk menjadi seperti itu.

"Kalau mau buat perusahaan dia harus ada income dulu buat gaji orang. Kalau mau income kan juga harus ada customer. Nah, customer mana mau bayar kalau belum terbukti produknya bagus. Mana banyak antivirus gratisan lagi," tukasnya.

Pun demikian, banyak beredarnya antivirus gratisan itu bukan berarti menutup seluruh pintu bisnis bagi pengembang antivirus. Lihat saja contoh antivirus SMADAV dan PCMav yang dianggap sudah terbukti berhasil.

"PCMav tetap bisa menghidupi dirinya dari jualan majalah. Sementara SMADAV dalam beberapa kasus sudah ada yang mau bayar, walaupun belum sampai bisa menyaingi antivirus mancanegara," kata Alfons.

"Tantangannya berat, tetapi justru itu yang harus bikin semangat. Jadi asalkan pembuat software menyadari tantangannya dan mempersiapkan dirinya, kemungkinan berhasil tetap ada. Asalkan jaga stamina dan punya model bisnis yang baik," ia menandaskan.


( ash / ash )

Kamis, Januari 27, 2011

Toyota recalls 1.7 million cars for fuel leaks

Toyota recalls 1.7 million cars for fuel leaks


Visitors enjoy at the showroom of Toyota Motor Corp. in Tokyo Wednesday, Jan. 26, 2011. Toyota is recalling nearly 1.7 million vehicles worldwide for AP – Visitors enjoy at the showroom of Toyota Motor Corp. in Tokyo Wednesday, Jan. 26, 2011. Toyota is recalling …
RELATED QUOTES
TM82.29-1.57
^GSPC1,296.63+5.45
^IXIC2,739.50+20.25

TOKYO – Toyota recalled nearly 1.7 million cars worldwide Wednesday for possible fuel leaks, the latest in a ballooning number of quality problems that could further tarnish the company's reputation in the United States.

The recalls are mostly in Japan, but include Lexus IS and GS luxury sedans sold in North America. That's where the world's No. 1 car company faces the biggest challenges in winning back customer trust.

U.S. dealers will inspect cars to see if loose fuel pressure sensors caused leaks. There were no accidents suspected of being caused by those problems, according to Toyota. The car maker has received 77 complaints overseas, 75 of them in North America, and more than 140 in Japan.

The latest quality hitch follows a spate of recalls that began in late 2009, mostly in North America, which now cover more than 12 million cars and trucks. The recalls involve defective floor mats and gas pedals that get stuck, some of them suspected of causing unintended acceleration.

Wednesday's recalls come exactly one year after Toyota stopped selling eight models in the U.S. because of unintended acceleration problems. The sales suspension affected 60 percent of Toyota's lineup in the U.S., and was the first of four sales halts last year. .

Koji Endo, auto analyst with Advanced Research Japan Co. in Tokyo, said the newest recalls will cost Toyota about 20 billion yen ($240 million), but won't hurt its earnings much.

"But there is that perception of here we go again, and that hurts Toyota's image, especially in North America," he said.

The biggest damage to Toyota's image has been in the U.S. where its response to safety problems was seen as slow. The company's U.S. sales lagged last year despite an industry recovery. Some believe that Toyota's relentless drive for growth hurt quality.

The company has lost some potential U.S. customers: A survey done by consumer website Edmunds.com showed that 17.9 percent of all car shoppers last month were considering a Toyota, a 3.8 percent point drop from a year earlier. That drop in consideration could be blamed on Toyota's recalls, as well as its aging lineup.

"Toyota needs to overcome not just the PR damage sustained by last year's recalls, but also the reality that many of its models are stale," said Jessica Caldwell, director of pricing and industry analysis for Edmunds.

Toyota has stayed popular in Japan, partly because government incentives for green vehicles sent sales of its Prius gasoline-electric hybrid booming.

The company is likely trying to be aggressive with recalls and so the latest one is not a sign that quality is taking another dive at the company, Endo said.

To help respond to customer complaints and investigate quality concerns quickly, the company recently opened two new field offices, in Houston and Jacksonville, Fla. It plans to open another in Denver by the end of the first quarter, and already has offices in New York and San Francisco. The offices are part of Toyota's plan to improve global quality and communication within the company.

In the latest recalls, the largest number of the affected vehicles was in Japan at nearly 1.3 million — the second-largest auto recall in that nation's history. It involved two different problems.

In one of the problems announced Wednesday, an improper installation of a sensor to measure fuel pressuremay cause the device to loosen as a result of engine vibrations, and possibly cause fuel to leak, the company said. That problem also affects 280,000 Lexus cars sold abroad, most in North America.

Included under that recall are the 2006 through 2007 Lexus GS300/350, 2006 through early 2009 Lexus IS250, and 2006 through early 2008 Lexus IS350 sold in the U.S.

Lexus dealers will inspect the vehicles for fuel leakage and will tighten the sensor, if nothing is leaking. If a leak is confirmed, the gasket between the sensor and the delivery pipe will be replaced, it said.

That same problem was also found in the Crown and Mark X models sold in Japan.

The second problem, which affects 141,000 Avensis sedans and station wagons sold in Europe, and New Zealand, was caused by irregular work on the fuel pipe, which may cause cracks and fuel leakage, Toyota said.

That problem was also found in 16 models sold in Japan, including the Noah subcompact, RAV4 sport-utility vehicle and Wish cars.

Toyota also recalled 6,000 trucks made by group company Daihatsu Motor Co., which were sold under the Toyota brand in Japan, for a problem with a metal part connecting a spare tire to the bottom of the truck. The tire could come loose and fall on the road, Toyota said.

Chief Executive Akio Toyoda, the grandson of the automaker's founder, has vowed to regain trust and respond quicker to customer needs.

Toyota shares fell nearly 2 percent to close at 3,400 yen ($41) in Tokyo.

____

Sharon Carty in Detroit contributed to this report.

http://news.yahoo.com/s/ap/20110126/ap_on_bi_ge/as_japan_toyota_recall