Selasa, September 21, 2010

60% Bahan Pangan Masih Impor, RI Jangan Lengah

Selasa, 21/09/2010 10:45 WIB
Wawancara Ketua APEGTI
60% Bahan Pangan Masih Impor, RI Jangan Lengah
Suhendra - detikFinance


Natsir Mansyur (Foto: dok detikFinance)
Jakarta - Pemerintah memastikan kembali mengimpor gula pada tahun 2010 untuk memenuhi pasokan gula sebelum musim giling awal 2011.

Ketergantungan Indonesia terhadap gula impor menjadi cerminan buruknya perencanaan pemerintah dalam membangun swadaya pangan khususnya gula.

Yang menyedihkan lagi kebutuhan pangan utama lainnya masih banyak dipenuhi dari impor seperti kedelai, gandum, daging, jagung dan lain-lain. Bahkan swasembada beras yang selama ini menjadi kembanggaan Indonesia bakal tercoreng, jika indikasi rencana impor beras terealisasi juga di tahun ini.

Belum lagi termasuk masalah perdagangan, pasokan dan stabilitas harga pangan di dalam negeri. Juga ancaman cuaca ekstrim yang melanda dunia termasuk Indonesia. Seperti diketahui, Lembaga pangan dunia (FAO) sudah mewanti-wanti para negara anggotanya untuk mewaspadai ancaman krisis pangan akibat cuaca ekstrim dimasa mendatang.

Sebenarnya apa yang salah dalam kebijakan pemerintah terkait pangan? Berikut ini wawancaradetikFinance dengan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur saat ditemui beberapa waktu lalu.

Sebagai pelaku sektor pangan di Tanah Air, apa yang anda lihat terkait masih lemahnya stabilitas pangan kita?


Persoalan pangan tidak bisa dianggap remeh, karena impor pangan kita masih 60% dari konsumsi pangan, mulai dari daging, ayam, jagung, kedelai, gandum, gula dan lain-lain. Coba apa yang kita tidak impor, yang kita tidak impor cuma beras.

Semuanya impor, apalagi makanan jadi seperti makanan siap saji. Ini sudah berlangsung lama. Soal swasembada ayam, apa yang swasembada, bibit ayamnya tetap impor.

Yang jadi masalah kita tidak punya politik diplomasi dagang, artinya kalau terjadi apa-apa, dengan posisi impor pangan kita lebih banyak, politik diplomasi dagang kita tidak jalan.

Misalnya dalam kasus gandum, misalnya ada masalah suplai di Rusia, Turki, negara-negara Eropa kita langsung panik. Kalau kita punya diplomasi dagang yang baik terhadap negara-negara penghasil pangan yang kita impor, seperti gandum sehingga kita tak ada masalah.

Kita bisa beli harga pemerintah Turki lah disana, jadi meski mereka butuh mereka akan tetap ekspor ke kita.

Di dunia ini semua orang punya duit, tergantung kita berteman dengan siapa. Itu namanya politik diplomasi dagang, kalau diplomasi dagang kita kuat itu bagus.

Bukankah masalah dalam negeri kita pun masih belum beres?


Masalah penunjang perdagangan, distribusi dan penyimpanan nggak ada. Manajemennya tidak jalan, kalau perdagangan dalam negeri ini diatur dengan baik, tentu tak terjadi operasi pasar yang panik setiap saat.

Kalau pendistribusiannya ditata dengan baik dari Sabang sampai Merauke, saya kira akan berjalan dengan baik. Kalau manajemennya baik, ketika akan terjadi kenaikan harga ada semacam early warning system dimana buntunya. Saat ini ketika harga naik justru bingung.

Masalah penyimpanan kita lemah karena supporting infrastrukturnya lemah. Kalau kita punya silo (tempat peyimpanan) yang bagus kalau ada goncangan perdagangan komoditi dunia bisa kita redam.

Misalnya kedelai, gula, jagung itu silonya harus ada disetiap wilayah. Ketika harga komoditas dunia stabil kita bisa beli. Meskipun harus menyiapkan dana, karena yang namanya manajemen harus begitu dong.

Seperti misalnya di gula, ketika harga saat di US$ 500-an kita beli gula itu. Harusnya sebelum akhir tahun (impor), karena dikhawatirkan sampai akhir tahun US$ 750 (per ton). Yang namanya komoditi rentan untuk naik, komoditi dunia itu tergantung stok.

Misalnya gula itu harus ada 55 juta ton stok dunia itu, sekarang akan turun karena iklim bisa sampai 5 juta ton di 2010. Kalau terjadi kekurangan pasti akan ada kenaikan harga.

Oleh karena itu dalam kondisi begini, manajemen perdagangan, distribusi, dan penyimpanan harus rapih. Misalnya untuk gula, kita akan impor, kasih dong swasta asalkan ada insentif. Kedele juga begitu, untuk kelola silo.

Kita sudah sampaikan ke Bu Mari (Mendag), tapi kata dia pemerintah pilih bangun gudang. Kalau pakai sistem penyimpanan silo dari kapal langsung masuk silo. Kalau sekarang ini setiap ada barang impor (pangan) malah dikarungin. Di negara lain sudah pakai manajemen silo semua sudah moderen.

Soal diversifikasi pangan (gandum terigu), nggak bisa. Sudah 30 tahun, saya sejak sudah makan roti sejak zaman Soekarno roti sudah ada, mau dirubah yah susah. Kalau mau dirubah ke ubi kayu mana ada orang yang mau.

Penyakitnya Indonesia, suka ramai dengan wacana diversifikasi pangan, tapi tidak diubah secara industri. Padahal kalau dirubah secara industri, misalnya tanaman jarak, dulu sempat ramai tapi sekarang mana?

Solusi impor yang dilakukan pemerintah ketika kepepet?

Saya melihat pemerintah itu tidak punya perencanaan yang bagus, manajemen perdagangan, distribusi dan penyimpanan itu tidak ada.

Siapa yang harus bertanggung jawab?

Kalau bicara tempat, tempatnya dimana kan nggak mungkin di departemen sosial, ya kementerian perdagangan lah.

Selama ini anda banyak menyerang kementerian perdagangan bahkan langsung tunjuk hidung Mendag Mari Elka Pangestu, mengapa?

Masak kalau bicara masalah pangan, kita bicara di kementerian sosial, nggak mungkin dong. Kalau kita bicara pangan, perdagangan apa yang menjadi masalah.

Kembali ke soal Mari (Mendag) mampu nggak dia bisa memanage itu. Jangan hanya masalah perdagangan internasional melulu dilolosin. Apa manfaat perdagangan internasional terhadap kita, ada nggak? Nggak ada, nggak ada, justru yang terjadi adalah lonjakan impor.

Makanya saya katakan yang merusak daya saing kita itu orang Indonesia sendiri. Sehingga terjadi pelemahan struktural, sehingga kita jadi bangsa yang selalu menerima, bangsa pedagang, bangsa penjual barang impor.

Bukankah dengan kondisi seperti ini, anda sebagai pengusaha yang dibidang perdagangan justru menguntungkan, bukan?

Ya kalau itu dibuka itu menguntungkan, tapi kalau tetap di pemerintah, dan pemerintah yang menunjuk siapa yang cuma kerjanya hanya jangka pendek saja, bukan jangka panjang. Misalnya soal gula ya harus dipikirkan jangka panjangnya.

Soal swasembada gula mana? tahun 2014 akan dibuat pabrik 15 unit. Membangun pabrik gula memerlukan waktu panjang.

Soal swasembada gula, ada dugaan ada pihak-pihak yang tak menginginkan Indonesia swasembada gula?

Bukan begitu, tapi yang berkuasa di republik ini adalah trader, saya memang trader tapi dalam negeri bukan importir.

Khusus untuk gula, trader ini lah yang mengusai gula. Semua sektor pangan ini yang menguasai adalah trader. Seharusnya bukan trader, tapi negara. Negara yang melakukan manajemen yang bagus sehingga bisa dikerjakan dan dipantau dengan baik.

Misalnya gula, siapa yang mengizinkan gula impor? Siapa yang mengizinkan gula rafinasi?. Misalnya sapi, siapa importirnya. Sepanjang trader yang berkuasa tentu dia akan melihat supply dan demand, kacau negara ini gemes melihatnya masak nggak bisa diperbaiki sih.

Dengan tools pemerintah, pemerintah harus keras bahwa negara ini disiplin.

Peranan trader dalam mencegah swasembada sebegitu besarnya kah?

Oh sangat luar biasa, katankanlah misalnya gula. Dilihat jangka pendek tak akan terealisasi swasembada, maka sepanjang itu lah mereka mainkan. Artinya mereka akan melihat kalau supply lebih sedikit demandnya lebih banyak, tentunya dimainkan itu.

Dimainkannya melalui regulasi pemerintah, kan pemerintah sendiri yang mengeluarkan izinnya. Lobi-lobi trader ini kuat sekali, saya katakan muaranya ya kementerian perdagangan.

Kalau bicara impor gula, sampai kapan kita impor gula terus?

Ya, tahun ini pasti impor, kalau perkiraan Apegti 400-500.000 ton jadi jangan lelet dong. Memang untuk impor gula ini pasti akan dihitung semua stok gula termasuk rafinasi.

Kalau bicara salah perhitungan, saya kira nggak kalau sepanjang bicara bekerja untuk rakyat. Masalahnya dari target produksi gula sebesar 2,7 juta ton, itu akan turun menjadi 2,4 juta ton sedangkan konsumsi kita 2,3 juta ton. Ya karena faktor alam (cuaca ekstrim hujan berkepanjangan) saja sehingga tak cukup.

Apa yang terjadi kalau antara suplai dan demand-nya beda tipis, tentu rentan dengan spekulan, para trader itu.

Para trader besar melakukan sistem forward (ijon), kalau anggota kita itu masih membeli sewajar-wajarnya saja. Main forward itu KKN antara pengusaha besar, alasannya kan butuh biaya untuk panen. Apa tidak bisa dibenahi yang seperti ini.

Masalah ini persoalan gula ini terus terjadi bertahun-tahun. Masalah gula semakin krusial itu setidaknya sejak 2001 karena lebih banyak impornya dari produksinya. Memang sekarang produksi sudah semakin bagus. Tahun 2001 kita kekurangan hampir 1,5 juta ton.

Kadang-kadang republik, bukan saya bicara pesimis. Masak masalah-masalah seperti ini tidak bisa dikerjaain sih. Selama 10 tahun tidak ada yang berubah, setiap tahun kita bicara soal gula dan pangan impor, pangan impor begitu-begitu saja.

Kalau seandainya manajemen perdagangan, distribusi dan penyimpanannya bagus tidak akan begini. Pangan mesti harus diatur pemerintah, bukan oleh trader. Tidak bisa beralasan liberalisasi ekonomi atau takut dengan WT0.

(hen/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar