Minggu, Desember 20, 2009

Union Migrant Desak Kebebasan Berserikat Masuk dalam MoU

Minggu, 20/12/2009 03:15 WIB
TKI Indonesia di Malaysia
Union Migrant Desak Kebebasan Berserikat Masuk dalam MoU
Ramdhan Muhaimin - detikNews

Petaling - Memorandum of Understanding (MoU) mengenai tenaga kerja antara Indonesia-Malaysia rencananya akan ditandatangani pada awal 2010. Namun MoU tersebut tidak mengatur mengenai kebebasan berserikat bagi TKI di Malaysia.

Union Migrant (Unimig) Indonesia mendesak kebebasan berserikat untuk TKI dimasukkan ke dalam MoU Indonesia-Malaysia.

"Pemerintah RI harus memasukkan kebebasan berserikat bagi TKI dalam MoU nanti, bukan saja terhadap Malaysia, tapi juga negara-negara penempatan lainnya.Karena serikat pekerja ini sebagai bagian dari self protection TKI," kata Presiden Unimig Indonesia Muhammad Iqbal di sela-sela penyuluhan HIV/AIDS memperingati Internastional Migrant Day di hotel Singgasana, Petaling Jaya, Malaysia, Sabtu (19/12/2009) malam.

Iqbal mengatakan, TKI di luar negeri tidak bisa selamanya mengandalkan perlindungan kepada perwakilan RI saja. Namun perlu dibentuk perlindungan di luar KBRI dalam bentuk serikat pekerja.

Apalagi menurut Iqbal, untuk konteks Malaysia sebetulnya ada celah untuk kebebasan berserikat bagi TKI. Hal itu termuat dalam UU Ketenagakerjaan di Malaysia Tahun 1959 yang membolehkan tenaga kerja asing berserikat dengan syarat bergabung kepada serikat-serikat pekerja lokal.

"Tapi masalahnya, serikat-serikat pekerja Malaysia tidak pernah melibatkan TKI. Sehingga TKI tidak mempunyai perlindungan kecuali hanya dari KBRI. Sedangkan jumlah TKI di Malaysia mencapai 1,5 juta lebih," cetusnya.

Alasan lain, menurut Iqbal, perlunya perlindungan TKI melalui serikat pekerja karena perjanjian ketenagakerjaan yang dibuat Indonesia dan Malaysia dalam bentuk MoU. Sedangkan MoU sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan sanksi bagi point-point kerjasama yang dilanggar dan tidak mengikat.

"Seharusnya pemerintah lebih maju dalam membuat kesepakatan dengan Malaysia dalam bentuk Memorandum of Agrement (MoA), bukan lagi MoU. Kalau Filipina saja bisa, mengapa Indonesia tidak. Pemerintah ke depan harus maju ke MoA," tegasnya.

Untuk memudahkan pengawasan dan perlindungan TKI, dia juga mengatakan, pemerintah melalui departemen luar negeri diminta memperbanyak konsulat jenderal dan kantor penghubung pada negara-negara bagian yang banyak terdapat TKI sehingga memudahkan dalam penyelesaian kasus dan perpanjangan administrasi.

Saat ini, MoU tersebut masih dalam proses penggodokan oleh kedua negara. MoU tersebut diperkirakan baru akan selesai dan direalisasikan pada awal Januari 2010.

Dalam MoU tersebut diatur perbaikan kebijakan mengenai pemegangan paspor oleh pekerja, perlindungan, hari libur satu hari dalam satu minggu (one day off), dan masalah biaya pemberangkatan ke Malaysia.


(rmd/ape)

Jumat, Desember 18, 2009

SBY Dinilai Tidak Tegas Soal Emisi Negara Maju

SBY Dinilai Tidak Tegas Soal Emisi Negara Maju
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Kamis (17/12/2009) waktu setempat.
JUMAT, 18 DESEMBER 2009 | 05:00 WIB

KOPENHAGEN, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Keadilan Iklim (CSF) menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak tegas meminta pertanggungjawaban negara maju (Annex-1) untuk menurunkan emisi 40 persen.

"SBY tidak tegas meminta pertanggungjawaban negara Annex 1 untuk menurunkan emisi paling tidak sebesar 40 persen," kata Anggota CSF, Muhammad Teguh Surya yang juga koordinator Kampanye Walhi di Kopenhagen, Kamis.

Teguh menyatakan hal tersebut menanggapi pidato Presiden RI dalam pertemuan tinggi tingkat kepala negara/pemerintahan pada konfensi Perubahan Iklim dari UNFCCC di Kopenhagen, Denmark.

Teguh melihat apa yang diungkapkan Presiden Yudhoyono dalam pidatonya jauh dari persoalan perubahan iklim dan bagaimana menyelesaikannya. "Presiden juga keliru solusi karena menjebak negara-negara selatan termasuk Indonesia untuk bertanggungjawab penuh untuk penurunan emisi tanpa melihat bahwa pelepasan emisi di negara berkembang adalah sebagai akibat kegiatan ekploitasi sumber daya alm untuk memenuhi kebutuhan negara maju," katanya.

Presiden SBY pada sesi pertemuan UNFCCC dengan sejumlah kepala negara, di Bella Centre, Kopenhagen, menyerukan kepada semua pihak, untuk melepaskan ego mereka sehingga ada celah untuk tercapainya kesepakatan dan kerja sama bisa mendapat hasil yang maksimal.

"Sekarang bukan saatnya untuk dogma dan konfrontasi. Saatnya sekarang untuk solusi dan konsensus. Dogma yang ada saat ini hanyalah human survival," kata Presiden saat menyampaikan pidato dalam sesi pertemuan UNFCCC, Kamis sekitar pukul 12.00 waktu setempat.

Editor: tof

Sumber : ANT

http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/12/18/05002889/SBY.Dinilai.Tidak.Tegas.Soal.Emisi.Negara.Maju

Kamis, Desember 17, 2009

Monument lifted from Cleopatra's underwater city

Monument lifted from Cleopatra's underwater city


A sunken red granite tower, part of a pylon of the Isis temple is lifted out ofAP – A sunken red granite tower, part of a pylon of the Isis temple is lifted out of the Mediterranean Sea …

ALEXANDRIA, Egypt – Egyptian archaeologists on Thursday lifted an ancient granite temple pylon out of the waters of the Mediterranean, where it had lain for centuries as part of the palace complex of Cleopatra, submerged in Alexandria's harbor.

The pylon, which once stood at the entrance to a temple of Isis, is to be the centerpiece of an ambitious underwater museum planned byEgypt to showcase the sunken city, which is believed to have been toppled into the sea by earthquakes in the 4th century.

Divers and underwater archaeologists used a giant crane and ropes to lift the 9-ton, 7.4-foot-tall pylon, covered with muck and seaweed, out of the murky waters. It was deposited ashore as Egypt's top archaeologist Zahi Hawass and other officials watched.

The temple, dedicated to Isis, a pharaonic goddess of fertility and magic, is at least 2,050 years old, but likely much older, officials said. It was part of a sprawling palace from which the 1st Century B.C. Queen Cleopatra and her predecessors in the Ptolemaic dynasty ruled Egypt.

The palace and other buildings and monuments now lay strewn on the seabed in the harbor of Alexandria, the second largest city of Egypt. Archaeologists have been exploring the underwater ruins since the 1990s. The Isis temple was uncovered by a Greek team in 1998.

http://news.yahoo.com/s/ap/20091217/ap_on_re_mi_ea/ml_egypt_sunken_treasures

Senin, Desember 07, 2009

Ada Apa di Balik Gagal Bayar Wimax?

Senin, 23/11/2009 13:46 WIB

Ada Apa di Balik Gagal Bayar Wimax?
Achmad Rouzni Noor II - detikinet

ilustrasi (quaziefoto/cc)

Jakarta - Dari delapan perusahaan yang memenangkan tender broadband wireless access (BWA), baru tiga perusahaan saja yang telah membayar up front fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi tahun pertama untuk penyelenggaraan Wimax di pita 2,3 GHz.

Perusahaan itu adalah Telkom Indonesia, Indosat Mega Media (IM2) dan disusul First Media. Sementara lima lainnya, Berca Hardayaperkasa, Jasnita Telekomindo, Internux, dan dua perusahaan konsorsium, masih belum memenuhi kewajibannya.

Jika kedua konsorsium masih punya waktu tenggat hingga akhir Januari 2010, tidak demikian dengan tiga perusahaan terakhir. Ketiganya, Berca, Jasnita, dan Internux, terpaksa dikenai denda 2% setiap bulannya. Izin mereka pun bisa terancam dicabut jika tak juga memberi kepastian.

Internux dalam surat tertulisnya kepada Depkominfo, menyatakan bersedia dikenakan denda karena belum mau membayar karena masih belum yakin dengan kesiapan perangkat jaringan Wimax lokal.

Menurut Kepala Pusat Informasi Depkominfo, Gatot S Dewa Broto, alasan itu tak bisa diterima. "Sebab, pemerintah tak mungkin menggelar tender BWA jika Wimax lokal masih belum siap," ujarnya kepada detikINET, Senin (23/11/2009).

Dalam menggelar Wimax di 2,3 GHz, pemerintah menganut versi BWA Nomadic 16.d. Versi ini banyak ditentang para vendor jaringan asing karena dianggap tidak sesuai dengan Wimax Forum yang mengusung BWA Mobile 16.e.

Meski terus ditentang, pemerintah tetap bersikeras memilih 16.d dengan alasan melindungi kesiapan industri dalam negeri.

"Industri dalam negeri yang siap ya versi 16.d. Kalau versi 16.e ya akhirnya impor lagi impor lagi. Kita hanya sebagai penonton hilir mudiknya Capex (belanja modal) perangkat yang besar saja," terang Heru Sutadi, Anggota KRT Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

Walau demikian, keyakinan pemerintah bahwa perangkat Wimax lokal sudah siap ternyata tak sepaham dengan pendapat para pemenang tender BWA.

Salah satu petinggi dari delapan perusahaan pemenang tender tersebut mengungkapkan, bahwa mereka sebelumnya telah membuat kelompok aksi yang dinamakan forum delapan (F8).

Melalui tim F8 ini, para pemenang tender coba melobi pemerintah agar aturan pengkanalan BWA yang saat ini ditetapkan 3,5 MHz dan 7,5 MHz (standar 16.d), kanalisasinya bisa ditambahkan untuk 5 MHz dan 10 MHz (standar Wimax Forum).

Menurut sang petinggi, maksud tujuannya tak lain agar kanal frekuensi di pita 2,3 GHz tidak hanya bisa digunakan untuk Wimax 16.d, tapi juga 16.e.

Namun pemerintah menolak tegas permintaan itu melalui surat yang ditandatangani Direktur Frekuensi Ditjen Postel Tulus Rahardjo. Meski demikian, tim F8 tetap akan mencoba lagi usulan tersebut setelah lisensi BWA mereka kuasai.

"Namun sayangnya F8 tidak kompak. Itu sebabnya belum pada mau bayar. Padahal harusnya bayar dulu, baru setelah lisensi kita pegang, kita sampaikan lagi usulan itu," sesal sang eksekutif yang tak mau namanya disebut.

Meski sejak awal telah membaca muara dari resistensi tersebut, pemerintah tetap berkeyakinan para pemenang tender akan memegang komitmen awal sesuai mekanisme yang ditetapkan.

"Kami masih berpikir positif bahwa urusan ini akan dapat diselesaikan," tandas Heru.

( rou / wsh )

Wimax Tidak Bisa Full Mobile Broadband

Wimax Tidak Bisa Full Mobile Broadband
Achmad Rouzni Noor II - detikinet


Jakarta
- Pengguna jaringan layanan Wimax nantinya tetap bisa mengakses layanan data dan internet secara mobilealias bergerak berpindah tempat, namun hanya sebatas di dalam area layanan satu kota saja.

Kepala Pusat Informasi Depkominfo Gatot S Dewa Broto menegaskan demikian. Sebab, operator pemiliklisensi broadband wireless (BWA) di pita 2,3 GHz hanya mendapat izin penyelenggaraan data di area terbatas.

"Mereka tetap berhak menyelenggarakan mobile broadband, namun hanya di lingkup terbatas seperti FWA (fixed wireless access). Tidak seperti seluler yang bisa antarkota," jelasnya kepada detikINET, Senin (7/12/2009).

Itu sebabnya, pemerintah lebih memilih untuk menetapkan kebijakan penggunaan perangkat Wimax Nomadic 16.d untuk fixed wireless broadband dibanding Wimax Mobile 16.e untuk full mobile broadband.

Pembatasan area layanan ini disambut antusias oleh operator seluler dalam Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) yang menginginkan Wimax tidak full mobile broadband.

Ketua ATSI Sarwoto Atmosutarno berharap layanan mobile broadband sepenuhnya diserahkan penyelenggaraannya kepada operator seluler berbasis 3G, HSDPA, HSPA, LTE dan operator FWA nasional dengan teknologi CDMA-EVDO.

"Kondisi seperti ini sudah ideal. Jangan diubah lagi business plan-nya. Wimax memang seharusnya hanya jadi komplemen, tidak untuk full mobile broadband," tandasnya.

Wimax sendiri akan mulai diselenggarakan tahun depan oleh perusahaan pemenang tender BWA yang telah memenuhi kewajibannya. Sejauh ini perusahaan itu adalah Telkom, Indosat Mega Media (IM2), First Media, dan Berca Hardayaperkasa.

( rou / wsh )

Minggu, Desember 06, 2009

Militer Inggris Tutup Kuping soal UFO

Militer Inggris Tutup Kuping soal UFO
SABTU, 5 DESEMBER 2009 | 10:04 WIB

LONDON, KOMPAS.com — Kebenaran, dan mungkin UFO, ada di luar sana, tetapi pihak militer Inggris tak mau dengar lagi. Departemen Pertahanan Inggris diam-diam telah mematikan saluran hotline UFO miliknya sebagai upaya pengurangan biaya, dan pihaknya tak lagi menginvestigasi segala penglihatan aneh. Para veteran dari investigasi yang lebih mirip serial X-Files ini mengatakan bahwa keputusan tersebut akan menghentikan usaha untuk memecahkan misteri terbesar sepanjang sejarah.

Orang-orang Inggris yang berpendapat telah melihat piring terbang tak akan lagi bisa mendapat bantuan dari kesatuan bersenjata milik kerajaan.

Penutupan jalur hotline dan e-mail yang dilakukan minggu ini, dan juga pernyataan bahwa "pelaporan penglihatan UFO tak akan lagi ditanggapi atau diperiksa", telah membuat marah banyak orang Inggris yang berpikir bahwa penelitian semacam ini sangat diperlukan.

"Menurutku, itu langkah yang bodoh karena bisa mengancam keamanan nasional," kata Roy Lake, pendiri dari grup penelitian UFO London.

"Kita menanggapi hal ini dengan serius. Kita tahu bahwa kadang penglihatan tersebut hanya merupakan fenomena alam, tapi mungkin ada juga yang bukan. Dan saya rasa sebenarnya pemerintah tahu betul apa yang terjadi di 'atas' sana, tapi mereka menutupinya," sambungnya.

Hotline itu telah beroperasi, walau tersendat-sendat, sejak 1959. Itu lebih lama dari masa tayang Doctor Who, yaitu serial televisi di Inggris tentang perang melawan alien dan perjalanan antar-waktu.

Pihak militer tak mau mengambil posisi tentang ada atau tidaknya UFO, tetapi telah menyimpulkan bahwa selama 50 tahun tak satu pun dari 12.000 laporan penglihatan UFO terbukti merupakan ancaman keamanan nasional. "Tak satu pun dari ribuan laporan penglihatan UFO yang muncul selama bertahun-tahun ini bisa membuktikan adanya makhluk luar angkasa," katanya.

Juru bicara Departemen Pertahanan mengatakan tak ada nilainya bagi pertahanan untuk memeriksa laporan UFO. Menurutnya, menutup jalur pelayanan UFO akan menghemat sekitar 44.000 poundsterling per tahun dan tak akan menambah ancaman yang dihadapi Inggris. Ia menambahkan bahwa hasil penghematan itu bisa untuk menolong pasukan Inggris di Afganistan. Dan tak ada yang akan kehilangan pekerjaan karena penutupan jalur layanan UFO ini, yang mana selama bertahun-tahun telah menghasilkan banyak gambaran imajinatif tentang perjumpaan dengan alien.

Sebagian orang berpendapat bahwa keputusan ini mengorbankan misteri dan romantisme demi logika keuangan tak berperasaan. Nick Pope, yang telah membantu militer Inggris untuk memeriksa penglihatan UFO selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa keputusan itu salah. "Sayang sekali (keputusan itu), ini akan mengakhiri riset yang telah berjalan lebih dari 50 tahun tentang misteri terbesar di sejarah kita," katanya.

Pope mengatakan bahwa keputusan itu juga akan merugikan keamanan nasional Inggris. Ia mengatakan bahwa bila pilot maskapai penerbangan komersial dan para ahli lainnya tak lagi melaporkan aktivitas yang aneh, maka negara itu akan lebih rentan terhadap aktivitas teroris dan mata-mata.

"Itu salah satu pelajaran yang bisa diambil dari tragedi 9/11, yaitu ancaman datangnya pesawat yang transpondernya dimatikan," katanya.

Dalam ceramah pada tahun 1996, pakar fisika Inggris ternama, Stephen Hawking, tak mengacuhkan teori UFO yang berisi makhluk luar angkasa. "Saya rasa menemui peradaban yang lebih maju, pada tahap kita sekarang, akan seperti kejadian orang Indian yang bertemu Columbus. Saya rasa bangsa Indian tak diuntungkan dari pertemuan itu."

Hawking juga mengatakan bahwa ia cenderung berpikir bahwa memang ada mahluk luar angkasa yang cerdas, tetapi kita telah dilewatkan dan ia menyesali pemberhentian dana federal untuk proyek SETI di Amerika yang mendengarkan tanda-tanda dari peradaban alien.

Angkatan Udara Amerika mengaku tidak lagi memeriksa penglihatan UFO sejak 1996, yaitu ketika proyek "Blue Book" diberhentikan, yang mana telah memeriksa lebih dari 12.600 kasus penglihatan UFO—termasuk 700 penglihatan yang tak pernah bisa dijelaskan.

Namun, Canada masih memeriksa laporan UFO, kata seorang juru bicara Departemen Pertahanan Inggris. Selama bertahun-tahun, investigasi dari militer Inggris telah menghasilkan ribuan dokumen rahasia, yang mana banyak yang telah diterbitkan oleh Arsip Nasional setelah dicabut status rahasianya.

Beberapa penglihatan UFO sepertinya menakjubkan, seperti pada tahun 1984, beberapa pengendali lalu lintas udara melaporkan bahwa mereka melihat suatu pesawat yang tak teridentifikasi mendarat di bandara kecil lalu lepas landas dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun, ada juga laporan yang sepertinya hasil dari kebanyakan minum bir di bar. Beberapa orang mengaku telah diculik alien dan menawarkan sketsa rupa alien.

Diterbitkannya dokumen UFO menunjukkan bahwa militer Inggris telah menghabiskan cukup banyak sumber daya untuk mempertanyakan adanya kehidupan di luar angkasa. Pendapat publik Inggris juga sepertinya terpecah mengenai layak atau tidaknya pemberian waktu dan dana untuk investigasi UFO.

Andrew MacDonald, petugas perencanaan dan pembangunan Manchester, mengatakan bahwa pemberhentian program UFO itu masuk akal karena penelitian setengah abadnya tak menghasilkan apa-apa.

"Saya tak itu," katanya tentang adanya alien, "Kalau hotline itu telah ada selama 50 tahun dan tak menemukan apa-apa dan kita juga tak menemukan ancaman lainnya, maka sudah saatnya kita berhenti mencari."


C17-09

Editor: made

Sumber : AP

http://sains.kompas.com/read/xml/2009/12/05/10042891/militer.inggris.tutup.kuping.soal.ufo

Kamis, Desember 03, 2009

Dubai mega-tower `last hurrah' to age of excess




DUBAI, United Arab Emirates – When work began in 2004 to build the world's tallest tower, Dubai's confidence also was sky high with a host of mega-projects on the drawing board or rising from the sands.

That swagger seems positively old school these days. It's been tripped up by a debt crunch that has humbled Dubai's leaders and exposed the shaky foundations of the city-state's boom years — leaving the planned Jan. 4 opening of the iconic Burj Dubai with a double significance of hello and goodbye.

It will be both a debutante bash for a new architectural landmark and a farewell toast to Dubai's age of excess.

The Burj Dubai — a steel-and-glass needle rising more than a half-mile (800 meters) — may be the last completed work from Dubai's time of the giants. Most other of the unfinished super-projects announced in recent years, such as a second palm-shaped island or a tower to surpass the Burj Dubai, are either recession roadkill or being considered on a far smaller scale.

If they are still considered at all.

Dubai last week dropped what amounted to a financial bombshell — announcing its main government-backed development group, Dubai World, needed at least a six-month breather from creditors owed nearly $60 billion.

World markets had known a day of fiscal reckoning was creeping up on what was once the world's fastest-growing city, swelling from about 700,000 in 1995 to more than 1.3 million today. But the depths of Dubai's red ink seemed to surprise everyone, rattling stock exchanges from Hong Kong to New York and adding exclamation points to obits-in-progress on the death of Dubai's golden years.

The Burj Dubai gala is now a welcome diversion. And one without a direct political sting: the building was developed by Emaar Properties, a state-backed firm not linked to the current debt meltdown.

"This tower was conceived as a monument to Dubai's place on the international stage," said Christopher Davidson, a professor at the University of Durham in Britain who has written extensively about the United Arab Emirates. "It's now like a last hurrah to the boom years."

It's not the first time a skyscraper has gone up as the economy swooned.

New York's 102-story Empire State Building was designed as the world's tallest building just before the 1929 stock market crash and opened in 1931 as the Great Depression was taking hold. In 1999, the Petronas Towers in Kuala Lumpur, Malaysia, officially opened to claim the world-tallest crown — two years after the financial meltdown of the once-soaring Southeast Asian economies.

But the Burj Dubai, or Dubai Tower, occupies a special niche. Few cities have grown so far so fast — pushed along by runaway property speculation and the boundless ambitions of Dubai's ruler, Sheik Mohammed bin Rashid Al Maktoum.

The recession barged in last year and quickly dried up the cash flow.

The brakes also were slammed on hundreds of Dubai projects — from residential towers that stand half-finished to a desert Xanadu that included a Universal Studios theme park and a "city of wonders" with full-size replicas of the Eiffel Tower, Taj Mahal and other famous sites.

Sheik Mohammed even has grown a bit testy over Dubai's dimming star power. In a meeting with international investors in November, he switched from Arabic to English to tell naysayers in the media to "shut up."

Dubai's boosters hope the opening of the Burj Dubai — which include offices, residences and a hotel _will give them at least some respite from the bad news. The Dubai PR machine is working overtime.

A barrage of statistics — vital and trivial — are pouring out as the $4.1 billion building gets its finishing touches: more than 160 stories topped by a spire that reaches a reported 2,684 feet (818 meters), well above the runner-up skyscraper, Taipei 101 in Taiwan, at 1,671 feet (508 meters). The Burj has even pushed past other giant structures taller than Taipei 101 such as the CN Tower in Toronto and the KVLY-TV mast in North Dakota.

The Burj — designed by the Chicago-based architectural firm Skidmore, Owings & Merrill — is billed to have the world's fastest elevator at up to 40 mph (64 kph) and can be seen as far as 57 miles (95 kilometers) away. It takes three months just to clean all the windows.

But there's some facts that are still closely guarded, including how much of the office and residential space is leased and whether the financial meltdown will make the Burj another tower of debt.

The current price for purchase or rent, too, is also unclear. It's certain, though, that it's gone down along with property prices across Dubai in the past year. A report in October by the Investment Boutique, a real estate advisory firm in Dubai, said asking prices in the Burj Dubai area had slumped by 77 percent since the peak a year earlier.

"Buildings like the Burj Dubai are born from the optimism of the moment," said Carol Willis, director of The Skyscraper Museum in New York. "That may not necessarily be the mood when the project is finished."

The Burj Dubai also faces some location drawbacks that didn't burden Dubai's other signature structures, such as the sail-shaped Burj Al Arab hotel and the Palm Jumeirah island that fans out into the Gulf. The Burj Dubai rises above a new annex of the city that was originally designed as a cluster of towers — which is now put on hold because of the economic crunch.

That leaves the Burj soaring above what amounts to high-priced empty lots.

But — for a moment at least — it will shift the spotlight back on Dubai from its oil-rich cousin, Abu Dhabi, the new boomtown of the UAE.

Abu Dhabi has already bailed out its debt-ridden neighbor once this year and is now watching from the wings as Dubai pleads for time with its global creditors. Dubai — without any oil resources — bankrolled its growth as a financial hub and a Mideast version of Las Vegas.

The rulers in more conservative Abu Dhabi, meanwhile, moved in other directions in their campaign to put the city on the world map in a generation.

In the past few months, Abu Dhabi hosted its inaugural Formula One race, won a global competition to host the headquarters of the new International Renewal Energy Agency and announced a $1 trillion plan to upgrade the city's roads, transportation and public venues. Also in the works are plans for branches of the Louvre and Guggenheim museums and a New York University campus.

Suddenly, Dubai is playing the unfamiliar role of second city.

Dubai opened its elevated metro line in September, but with only about a third of the stations opened. Last January, the state-owned builder Nakheel — which is part of the current debt crisis — said the fiscal crunch forced it to suspend plans for a Dubai skyscraper designed to top the Burj Dubai.

As Dubai's leaders try to calm markets and investors, Abu Dhabi planned a party.

A fireworks show on Wednesday for the UAE's national day was billed as the world's largest display, with 100,000 devices exploding over Abu Dhabi's biggest hotel.

http://news.yahoo.com/s/ap/20091202/ap_on_bi_ge/ml_dubai_tallest_tower

Obama's Afghan plan represents high-stakes gamble

Obama's Afghan plan represents high-stakes gamble


KABUL – President Barack Obama is holding an uncertain hand in his high-stakes gamble in the fight against Islamic extremism inAfghanistan and Pakistan. Weak partners in both countries, doubts about the speed of building up Afghan security forces and allies reluctant to commit themselves wholeheartedly to the battle all raise questions about the strategy.

If all goes well, U.S. troops can begin heading home in July 2011, Obama said. The White House says Obama set this date to make sure Afghan President Hamid Karzai's government knows it has limited time to reform itself and take charge of security.

Yet nearly every step presents difficult challenges — problems that festered over eight years of international neglect after the Bush administration shifted its attention from Afghanistan to Iraq once the U.S.-led invasion of 2001 had ousted the Taliban from power.

The threefold plan, unveiled Tuesday during a speech at the U.S. Military Academy at West Point, N.Y., calls for:

• Sending 30,000 U.S. reinforcements to reverse the Taliban's momentum and bolster Afghanistan's security forces within 18 months.

• An accelerated program to boost the notoriously weak and corrupt Afghan government.

• Partnership with Pakistan, where many al-Qaida figures including Osama bin Laden are believed hiding.

The NATO chief says America's European partners will contribute more than 5,000 new troops to the international force in Afghanistan, which currently consists of 70,000 U.S. troops and about 30,000 otherNATO-led personnel. Nevertheless, most of the pledges have come in small numbers. European powers like France praised Obama's speech but remained silent on offering new troops.

Even with greater support, both Afghanistan and Pakistan are led by weak governments that lack the political power to meet some of America's goals.

Key to a quick exit are the Afghan army and police. Afghan officials themselves question whether 18 months is enough time for a complete handoff to security forces — whose combat capabilities are reduced by a primitive system to keep units well supplied with food, fuel and ammunition without NATO's help.

There are differences within the U.S. leadership itself over how large a force Afghanistan needs.

Current plans call for boosting Afghan forces to 134,000 army soldiers and 96,800 police by next October. The Afghan army currently numbers about 95,000 with another 93,000 police.

The top U.S. commander, Gen. Stanley McChrystal, has recommended 240,000 soldiers and 160,000 policemen — a target he said would take at least four years to meet. The White House has not embraced the higher numbers — in part because of concern about the costs.

Afghan officials believe a 134,000-member army is too small and expressed doubt that the country's soldiers and police would be ready to defend the country in only 18 months.

Training individual soldiers is only part of the challenge. Turning them into an effective, integrated fighting forceis another.

Of the 90 Afghan army battalions, the U.S. military considers only one in three capable of fighting without NATO support. An estimated 90 percent of the recruits can't read or write when they join the army, making it difficult to operate complex military operations that require written orders and reports.

"The police are taking money from both sides — the government and the Taliban," said Ghulam HaiderHamidi, the mayor of the southern city of Kandahar. "When we have this kind of police and military, the Afghan problem won't be solved in 20 years."

Equally challenging is dealing with the governments of Afghanistan and Pakistan. Each is critical to success, and each presents unique and nearly intractable problems.

With Afghanistan, the goal is to rid the government of corruption, including links to drug trafficking, and to bolster its ability to deliver services to its citizens — a necessary step to win popular support. Training enoughcivil servants to run a government extending from Kabul to remote villages and towns nationwide will take time and resources.

Salaries are so low — $60 a month for many district administrators — that the government has trouble attracting talented people who won't take bribes.

In Pakistan, the challenge of building an effective partnership has been dogged by a spike in anti-Americanism led by elements of the security forces and increasing doubts over the stability of the weak, civilian government.

Since 2001, the U.S. has given the Pakistani army billions of dollars to try to get it to fight Islamic militants along the Afghan border. Starting last year, the U.S. began a sustained program of covert missile strikes against militant targets close to the border.

The results have been mixed. Militancy has spread throughout the northwest and is slowly creeping into the nuclear-armed country's heartland. Stung by the rise in attacks, the military has moved forcefully over the last year into several regions close to the Afghan border.

While the army has taken on the Pakistan Taliban, it has failed to go after Afghan Taliban leaders who base their operations in the lawless border region.

Many Western officials and analysts believe Pakistan is playing off both sides — accepting U.S. funds to crack down on Pakistani militants while tolerating the Afghan Taliban in the expectation that the radical movement will take power in Afghanistan once the Americans withdraw.

Shaun Gregory, an expert on Pakistani security at the University of Bradford in Britain, said the Pakistanis will take note of Obama's pledge to start bringing U.S. troops home from Afghanistan in July 2011.

"The Pakistanis are smart enough to read the signals coming out of Washington," Gregory said. "It seems to me that the army's longer-term strategy of broadly backing the Afghan Taliban is paying off now. They have their tails up."

Over the last year, a succession of U.S. officials has traveled to Islamabad to stress that Washington is looking for a long-term relationship with Pakistan, not only one focused on the war against militants. But the stinging reaction to the centerpiece policy of that effort — a $7.5 billion aid program — was a reminder of the difficulties it faces.

The army, angry at strings attached to part of the aid that called for more civilian oversight into its affairs, criticized the government. So did large sections of the media and opposition, using it as a stick to beatPresident Asif Ali Zardari, who is backed by the U.S. but is desperately unpopular at home.

Last month, Zardari was forced to abandon an effort to get parliament to approve a decree issued in 2007 by his predecessor, Pervez Musharraf, granting him and thousands of others immunity from a host of corruption and criminal charges. The end of the amnesty last weekend has now raised the possibility of legal challenges to Zardari's rule.

"Pakistan has never faced a terrorist quagmire as it has faced in the recent years, and combatting terrorism requires political and economic stability," said Ishtiaq Ahmad, professor of international relations. "A political crisis is the last thing that we can afford at this stage."

Well aware of America's problems, the Afghan Taliban scoffed at Obama's plan, saying it would only lead to more American casualties.

"Throughout the history of Afghanistan, the Afghans have not been subjugated through deceits, ploys ... and military might of the foreigners," the Taliban said in a statement released in English. "Therefore, the reinforcement of the American troops and other tactics will not have impact."

___

Reid reported from Kabul, Brummitt from Islamabad. Associated Press Writer Deb Riechmann contributed to this report from Kabul.

http://news.yahoo.com/s/ap/20091202/ap_on_re_as/as_afghan_weak_links;_ylt=Apl_BwrVbiVrXm89JxcUcLNvaA8F;_ylu=X3oDMTJtNzJyaDBmBGFzc2V0A2FwLzIwMDkxMjAyL2FzX2FmZ2hhbl93ZWFrX2xpbmtzBGNwb3MDMwRwb3MDMTAEc2VjA3luX3RvcF9zdG9yeQRzbGsDb2JhbWFzYWZnaGFu


Selasa, Desember 01, 2009

Lima Poin Fokus Penyelidikan Angket Century

Inilah Lima Poin Fokus Penyelidikan Angket Century
SELASA, 1 DESEMBER 2009 | 18:48 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Saat Sidang Paripurna Pengesahan Hak Angket Bank Century di Gedung DPR, Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Demokrat sahut-menyahut mengajukan interupsi kepada pimpinan sidang Marzuki Alie soal perlu tidaknya substansi Angket Century dibacakan. Sebenarnya substansi apa yang ingin disampaikan anggota Fraksi PDI Perjuangan soal Angket Century ini?

Menurut inisiator Angket Century atau anggota Tim Sembilan dari Fraksi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, salah satu poin substansi itu adalah untuk mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait kebijakan pencairan dana talangan untuk pengambilalihan (bail out) Bank Century senilai Rp 6,76 triliun tersebut. "Adakah indikasi pelanggaran peraturan perundangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata," kata Marurar Sirait di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (1/12).

Dalam pengantarnya, para pengusung angket ini akan mengusut soal pengawasan khusus Bank Indonesia terhadap Bank Century, proses pengajuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP), Perubahan Peraturan BI soal FPJP, Penetapan BI kepada Bank Century sebagai bank gagal, Posisi Bank Century dalam Industri Perbankan, Penetapan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terhadap Bank Century sebagai bank gagal, proses suntikan modal ke Bank Century, serta pelanggaran-pelanggaran Bank Century.

Berikut lima poin fokus penyelidikan Angket Century:
1. Mengetahui sejauh mana pemerintah melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku, terkait keputusannya untuk mencairkan dana talangan (bail out) Rp 6,76 triliun untuk Bank Century. Adakah indikasi pelanggaran peraturan perundangan, baik yang bersifat pidana maupun perdata?

2. Mengurai secara transparan komplikasi yang menyertai kasus pencairan dana talangan Bank Century. Termasuk mengapa bisa terjadi perubahan Peraturan Bank Indonesia secara mendadak, keterlibatan Kabareskrim Mabes Polri ketika itu, Komjen Susno Duadji, dalam pencairan dana nasabah Bank Century, dan kemungkinan terjadi konspirasi antara para pemegang saham utama Bank Century dan otoritas perbankan dan keuangan pemerintah.

3. Menyelidiki ke mana saja aliran dana talangan Bank Century, mengingat sebagian dana talangan tersebut oleh direksi Bank Century justru ditanamkan dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan dicairkan bagi nasabah besar (Budi Sampoerna). Sementara kepentingan nasabah kecil justru terabaikan. Adakah faktor kesengajaan melakukan pembobolan uang negara demi kepentingan tertentu, misalnya politik, melalui skenario bail out bagi Bank Century?

4. Menyelidiki mengapa bisa terjadi pembengkakan dana talangan menjadi Rp 6,76 triliun bagi Bank Century? Sementara Bank Century hanyalah sebuah bank swasta kecil yang sejak awal bermasalah, bahkan saat menerimabail out, bank ini dalam status pengawasan khusus. Rasionalkah alasan pemerintah bahwa Bank Century patut diselamatkan karena mempunyai dampak sistemik bagi perbankan nasional secara keseluruhan?

5. Mengetahui seberapa besar kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus bail out Bank Century dan sejumlah kemungkinan penyelamatan uang negara bisa dilakukan. Sebab lain penegakan hukum, di tengah berbagai kesulitan hidup yang dialami masyarakat kebanyakan, aspek penyelamatan uang negara ini sangat penting untuk dijadikan perioritas demi memenuhi rasa keadilan rakyat. Selanjutnya, uang negara yang dapat diselamatkan bisa digunakan untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. (Persda Network/Coz)


Editor: msh

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/12/01/18483825/Inilah.Lima.Poin.Fokus.Penyelidikan.Angket.Century