Kamis, Maret 31, 2011

Pertumbuhan Kelas Menengah Perlu Diwaspadai?

Pertumbuhan Kelas Menengah Perlu Diwaspadai?
"Akibatnya, yang semula ekonomi bisa tumbuh menjadi 7%, nanti bisa turun ke 5%."
KAMIS, 31 MARET 2011, 06:30 WIB
Nur Farida Ahniar, Anda Nurlaila

VIVAnews- Pengamat ekonomi menilai pertumbuhan kelas menengah yang pesat harus diwaspadai, terutama jika pertumbuhannya tidak merata. Jika tidak diantisipasi, pertumbuhan kelas menengah ini justru bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Peneliti Senior LPEM Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, menjelaskan potensi meningkatnya kelas menengah tidak menjamin bisa menghasilkan pertumbuhan inklusif dan penciptaan lapangan kerja. Sebab, mereka belum tentu merupakan wiraswasta yang menciptakan lapangan kerja.

Jika pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menciptakan kalangan menengah yang sebagian besar merupakan kalangan profesional maka akan tidak produktif. Misalnya, akan terjadi kekacauan di jalan raya karena sarana publik yang kurang, sementara kalangan itu semakin mudah membeli kendaraan pribadi.

"Akibatnya, yang semula ekonomi bisa tumbuh menjadi 7 persen, nanti bisa turun ke 5 persen karena terjadi kemacetan yang parah di jalan," ujarnya kepada VIVAnews di Jakarta.

Pertumbuhan yang tidak merata seperti tidak meratanya pendidikan juga akan memicu terjadinya pertentangan antar kelas. "Seperti di Prancis ada pertentangan di kalangan pekerja dan kelas menengah" ujarnya.

Untuk menghindari itu, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan yang sesuai. Misalnya, kata Ikhsan, pemberian subsidi harus dikembalikan ke kelas bawah agar kalangan itu dapat tumbuh. Namun di sisi lain pemerintah harus memperbaiki sarana infrastruktur dan fasilitas publik seperti stasiun, angkutan publik sehingga masyarakat kelas menengah dapat memanfaatkan fasilitas itu tanpa menggunakan subsidi.

Cara lainnya adalah menyediakan pendidikan seluasnya seperti pendidikan internasional yang biayanya mahal untuk mengakomodasi kelas menengah atas. "Jika tidak mereka akan masuk ke sekolah negeri favorit, dan orang kelas menengah bawah atau kelas bawah sulit masuk ke sekolah negeri yang bagus," ujarnya.

Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah kelas menengah Indonesia pada 2010 sebesar 134 juta jiwa atau 56,6 persen. Jumlah ini meningkat pesat pada 2003 yang jumlahnya hanya 37,7 persen.

Di sisi lain, menurut Ekonom Bank Dunia, Subham Caudhury, selama periode pengentasan kemiskinan pasca krisis, kesenjangan makin melebar. Sejak 2000 hingga 2002, kemiskinan turun lebih dari satu poin, sedangkan kesenjangan meningkat hampir 4 poin. Walau kesenjangan yang ada masih dalam batas toleransi, tren ini meningkat. Hal yang sama yang juga ditunjukkan negara-negara yang sedang tumbuh pesat seperti Cina dan India

Menurut dia, upaya pemerataan harus dimulai dengan pendidikan. Pemerintah juga harus memperhatikan kalangan miskin yang rentan pada harga pangan. Pasalnya, 60 persen penghasilan kaum miskin, masih dibelanjakan untuk pangan.

• VIVAnews

SBY: Kita Tak Tahu Krisis Bisa Berulang

SBY: Kita Tak Tahu Krisis Bisa Berulang
SBY mengajak semua pihak agar menjaga lingkungan dalam negeri, politik stabil.
SELASA, 9 FEBRUARI 2010, 12:46 WIB
Heri Susanto, Nur Farida Ahniar

VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa tidak ada yang tahu apakah lima tahun mendatang masih akan terjadi krisis kembali atau tidak seperti peristiwa 1998 dan 2008.

"Kita tidak tahu, tetapi kita harus siap dan respons tepat manakala terjadi krisis baru," kata SBY saat memberikan kuliah umum di hari Pers Nasional di Palembang, Selasa, 9 Februari 2010.

Dia menekankan bahwa dalam membangun negeri ini, dunia sedang dalam situasi tak statis dan tak diam. RI membangun dalam lingkungan global yang berubah dan berkembang.

SBY kemudian bercerita dulu di dunia ada dua kutub, bipolar, Barat-Timur, komunis-kapitalis. Kemudian dunia berubah dimana AS menjadi adikuasa. Sekarang, situasi dunia berubah lagi seperti multipolar. Di sana, ada Eropa, Amerika dan Asia. "Ini mirip abad pertengahan."

Dalam situasi seperti itu, Indonesia akan berjuang sekuat tenaga untuk membangun negeri dalam 5 tahun mendatang. "Kita harus tahu what going on?
Menurut dia, lima tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan.

Pertama, keamanan dunia akan penuh tantangan misalnya Timur Tengah. Kedua, masih ada benturan peradaban. Ketiga, sumber konflik ideologi. Keempat, konflik perebutan pangan, energi, air. Kelima, epidemi penyakit. Terakhir, soal perubahan iklim. "Itulah enam tantangan yang kita hadapi," katanya.

Karena bangsa Indonesia tak tahu apakah ada krisis lagi, SBY mengajak seluruh komponen masyarakat menyatukan potensi nasional, baik sumber alam, manusia dan energi bangsa ini disatukan untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif.

Untuk itu, SBY mengajak semua pihak agar menjaga lingkungan dalam negeri, dengan menjaga politik stabil, penegakan hukum, situasi sosial baik. Itulah satu-satunya jalan untuk membuat lima tahun lagi lebih baik dan itu titik awal pembangunan lima tahun berikutnya.

"Salah satu jalan menuju sukses, tak datang dari langit, membangun bangsa tak boleh untung-untungan, gambling, mengadu nasib," kata dia. "Tetapi, harus melalui doa sekaligus dengan ikhtiar."

• VIVAnews

Profesor Harvard Ingatkan Ancaman Krisis 2012

Profesor Harvard Ingatkan Ancaman Krisis 2012
Pola krisis ekonomi terjadi setiap 15 tahun sekali. Krisis telah terjadi pada 1982 & 1997.
JUM'AT, 11 MARET 2011, 16:14 WIB
Hadi Suprapto, Nur Farida Ahniar

VIVAnews - Profesor dari Universitas Harvard, Jeffrey Frankel, menjelaskan bahwa jika sesuai pola sejarah, pada 2012 bakal terjadi krisis ekonomi di negara-negara berkembang. Hal tersebut berdasarkan pola krisis ekonomi yang terjadi setiap 15 tahun sekali.

Ramalan Frankel ini berdasarkan krisis ekonomi sebelumnya yang terjadi pada 1982 dan 1997. Frenkel membagi tiga putaran besar dunia pada negara berkembang. Pertama, yaitu 1975-1981, di mana pada 1982 terjadi krisis utang internasional.

Kedua, yaitu saat negara berkembang mulai melambung pada 1990-1996. Krisis pada era itu terjadi pada 1997-1998 di negara Asia, dan pada 1998-2002 di Rusia, Brazil, Argentina, dan Turki.

Ketiga, terjadi saat pasar modal melambung pada 2003-2008, yang menyebabkan krisis finansial global pada 2008-2009. “Jika saya seolah-olah paranormal, saya katakan putaran krisis terjadi setiap 15 tahun sekali, dan krisis di negara berkembang akan terjadi pada 2012," kata Frankel pada seminar Coping With Asia’s Large Capital Inflows in A Multi Speed Global Economy di Bali, Jumat 11 Maret 2011.

Dalam seminar itu, Frankel membahas bagaimana mengelola arus modal masuk (capital inflow), yaitu melalui dua cara: menumpuk cadangan devisa dan memperkuat nilai tukar. Dia menegaskan, yang berhasil hanyalah negara yang menerapkan dua kebijakaan itu.

Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, mengatakan Indonesia melakukan berbagai kebijakan agar dana asing ini tak mengganggu ekonomi domestik.

Dia menjelaskan ada lima kebijakan kunci yang dilakukan bank sentral. Pertama, kebijakan suku bunga yaitu BI rate ditetapkan untuk mencapati stabilitas harga, dengan mempertimbangkan outlook ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan.

Kedua, fleksibilitas nilai tukar. Bank Indonesia mengendalikan rupiah untuk menolong pencapaian stabilitas harga.

Ketiga, akumulasi cadangan devisa, dengan melakukan perlindungan terhadap risiko pembalikan modal yang besar-besaran.

Keempat, kebijakan pengawasan makro stabilitas keuangan dan perekonomian secara umum (macroprudential) terhadap aliran modal agar tepat sasaran.

Kelima, memperkuat operasi moneter dan kebijakan macroprudential dalam sistem stabilitas finansial untuk manajemen pengelolaan likuiditas domestik dalam menghadapi serbuancapital inflow.

• VIVAnews

Delapan Kejutan yang Guncang Ekonomi Dunia

Delapan Kejutan yang Guncang Ekonomi Dunia
Kedelapan kejutan itu merupakan kondisi ekonomi yang terkait satu dengan lainnya.
JUM'AT, 25 MARET 2011, 07:01 WIB
Syahid Latif

VIVAnews - Citigroup memperingatkan seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk mulai mewaspadai munculnya delapan kejutan yang diperkirakan menghantam perekonomian global.

Kedelapan kejutan itu merupakan kondisi ekonomi yang terkait satu dengan lainnya. Sebanyak tujuh kejutan merupakan kondisi yang saling terkait erat dengan lainnya, sedangkan satu kejutan lainnya dipastikan akan memperburuk situasi yang sebelumnya memang sudah parah.

Berikut delapan kejutan yang bakal mengguncang ekonomi global menurut analis Citigroup, Gullermo Felices, seperti dikutipVIVAnews.com dari laman Business Insider.

1. Lonjakan harga pangan di negara berkembang.

Kejutan ekonomi ini akan dimulai dari negara seperti China dan India, yang harga makanan terus menanjak tinggi. Kenaikan harga itu karena berbagai faktor seperti produksi pangan lebih rendah dari perkiraan akibat perubahan iklim dan permintaan yang meningkat sebagai dampak dari menguatnya perekonomian negara berkembang.

2. Tingginya suku bunga dan ketatnya likuiditas di negara berkembang.

Sejumlah pemerintahan negara berkembang merespons kenaikan inflasi akibat bahan makanan dengan memperketat kebijakan ekonomi.

Sebagai contoh, China terus melanjutkan peningkatan cadangan devisa dan kenaikan suku bunga. India, Korea Selatan, dan Brasil juga melanjutkan kenaikan suku bunga. Meski melakukan kebijakan tersebut, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pilihan negara-negara tersebut akan berhasil.

Harga pangan dan juga komoditas lain seperti bahan bakar minyak seringkali tidak terpengaruh dengan kebijakan moneter.

3. Krisis politik di Timur Tengah.

Kenaikan harga bahan makanan merupakan salah satu faktor penyebab aksi demonstrasi di negara-negara Timur Tengah. Kondisi diperparah dengan bocornya sejumlah dokumen rahasia di WikiLeaks maupun aksi protes dengan membakar diri oleh seorang pemrotes di Tunisia di tengah fundamental ekonomi yang sedang kesulitan.

4. Menggelembungnya harga minyak dunia.

Kondisi politik yang tidak stabil di Timur Tengah telah mendorong kenaikan harga minyak mentah dunia. Kenaikan tersebut menyebabkan pasar dunia seperti China dan India, yang sebelumnya sudah memperketat moneter untuk mengantisipasi kenaikan, dan negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat ikut terpengaruh.

5. Naiknya suku bunga di negara maju.

Negara maju kini mulai berpikir untuk menaikkan suku bunga sebagai langkah antisipasi kenaikan harga minyak dan bahan pangan. Langkah ini dipastikan akan mengakhiri kebijakan kemudahan likuiditas yang sudah berjalan sejak krisis finansial.

Bank Sentral Eropa (The ECB) kemungkinan bakal menaikkan tingkat suku bunga pada pertemuan awal April mendatang. Bank Sentral Inggris juga akan melakukan langkah serupa sebagai respons terhadap lonjakan inflasi.

6. Berakhirnya kebijakan Quantitative Easing di AS.

Quantitative Easing jilid 2 merupakan program pemerintah Amerika Serikat untuk membeli obligasi dan akan berakhir pada Juni. Dampak dari berakhirnya program ini adalah kebijakan moneter AS yang akan lebih ketat.

Pemerintah AS memang tidak akan menaikkan tingkat suku bunga. Namun, berakhirnya kebijakan ini jelas menandai berakhirnya kebijakan likuiditas yang lebih longgar yang selama ini telah cukup mempengaruhi pasar tumbuh lebih tinggi.

7. Pemotongan fiskal dan krisis utang luar negeri.

Di saat kebijakan likuiditas yang lebih longgar akan berakhir, sejumlah negara di Atlantik juga berencana memangkas pengeluaran fiskal akibat kekhawatiran surat utang luar negeri.

Pemotongan fiskal ini jelas terlihat di sejumlah negara di Eropa, dengan negara seperti Yunani dan Irlandia telah diminta Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Uni Eropa untuk mengonsolidasikan keuangannya. Namun, negara-negara Eropa ini juga menyaksikan upaya pemerintah Spanyol yang terancam masalah yang sama.

Di negara seberang, parlemen Amerika Serikat kini tengah berjuang untuk memotong anggaran yang berdampak pada berkurangnya stimulus fiskal.

Semua kejadian ini menunjukkan masih minimnya dampak dari upaya pemerintahan menggenjot ekonomi dan belum ada satu pun negara yang ekonominya sudah benar-benar pulih.

8. Di antara berbagai kejutan ekonomi yang akan menghantam perekonomian global, bencana alam di Jepang merupakan kekhawatiran terbesar bagi ekonomi dunia.

Di samping banyaknya korban meninggal dan kerusakan yang dialami Jepang akibat gempa bumi, tsunami, dan ledakan reaktor nuklir. Ancaman terbesar perekonomian Jepang bagi dunia adalah berkurangnya produksi dan isu pasokan barang dari Jepang.

Jepang juga dipastikan bakal membutuhkan tambahan pasokan minyak lebih banyak sebagai upaya memenuhi kebutuhan energi akibat berlangsungnya perbaikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Kondisi ini menambah berat masalah kenaikan harga minyak mentah dunia. (art)

• VIVAnews