Minggu, Oktober 31, 2010

Indonesia Battles Disasters on Two Fronts

Indonesia Battles Disasters on Two Fronts
Bayu Ismoyo | October 30, 2010

 An Indonesian man carries an old refugee during Mount Merapi eruption in Sidorejo Village, Klaten, Central Java, Oct. 26 (EPA Photo)An Indonesian man carries an old refugee during Mount Merapi eruption in Sidorejo Village, Klaten, Central Java, Oct. 26 (EPA Photo)

Mentawai, West Sumatra. Indonesia struggled with twin disasters Saturday as the death toll from a tsunami topped 400 and the archipelago's most active volcano erupted again, spreading panic and ash over a vast area.

Rescuers were battling bad weather and logistical challenges to deliver aid to remote islands off the coast of Sumatra where a major earthquake triggered a tsunami on Monday, wiping out entire villages and killing at least 408 people.

Hundreds of kilometres (miles) to the east on Java island, the Mount Merapi volcano thundered back to life around 1:00 am (1800 GMT) in the latest frightening explosion since an eruption killed 34 people on Tuesday.

The two disasters have displaced more than 60,000 people -- 13,000 on the tsunami-stricken Mentawai islands and around 50,000 in central Java where a 10-kilometre (six mile) exclusion zone has been set up around the volcano.

Aid workers said the tsunami wiped out at least 10 villages, mainly along the ocean-facing beaches of North and South Pagai islands, and officials fear the final toll could exceed 600.

Aid had started to be dropped from helicopters on Friday, but aviation fuel shortages, stormy weather and poor communications on the largely undeveloped Mentawais were hampering the relief effort.

"We've started sending relief supplies, which are still limited but enough for the people to survive," national search and rescue spokesman Gagah Prakoso said.

Many victims were sucked out to sea as the tsunami receded and have already been buried by their loved ones. Others remain unclaimed under fallen trees or rotting in piles of mangled debris.
Survivors in a village reached by an AFP photographer said as many as 30 of the community's 100 children had been killed. One man complained they still had not received any assistance from the government.

"The relief from the government is very late. We still haven't received anything," he said.
The wall of water was around three metres (10 feet) high and roared into the little coastal communities without warning, smashing schools, mosques and flimsy traditional houses up to 500 metres inland.

Dave Jenkins of independent health agency SurfAid International, which is based in the Mentawais, said bad weather was making a "severely challenging situation... a lot worse".

"We need to keep people alive, warm and fed, and fight disease outbreaks. After that we can move into the reconstruction phase," he said.

"It's challenging and people need to coordinate much better."

The latest official death toll from the tsunami, triggered by a 7.7-magnitude quake, stood at 408, with 303 still listed as missing. Officials said as many as 200 of the missing were not expected to be found alive.

In central Java, soldiers and police posted nearest the volcano fled Saturday morning's eruption along with hundreds of ordinary people, who quickly clogged roads with cars and motorcycles as black soot fell across a vast area.

"My neighbours told me to leave and my village is already empty -- everyone has fled," said 42-year-old resident Mukinem, who was heading away from the volcano on a motorcycle with her husband and two young children.

"I heard several sounds like thunder. I was so scared I was shaking."

Government volcanologist Subandrio said the new eruption was another reminder that 2,914-metre Mount Merapi, which means "Mountain of Fire", remained "extremely dangerous".

He said the government had to be "more serious" about enforcing the exclusion zone amid persistent reports of people leaving displacement camps to tend to their livestock on the mountain's slopes.

"We will even have to evaluate whether we need to widen the exclusion zone because we should not downplay the threat -- Mount Merapi is extremely dangerous," he said.

Australia has announced assistance of about one million US dollars while the European Commission released 1.5 million euros (two million dollars) in aid.

"Indonesia is currently addressing a multitude of emergencies, whose cumulative impact is putting local capacity under severe strain," European aid chief Kristalina Georgieva said.

UN Secretary General Ban Ki-moon said the United Nations stood ready to assist. The United States and several Asian countries have also offered help.

The Indonesian archipelago is studded with scores of active volcanoes and stretches from the Pacific to the Indian oceans, spanning several tectonic plates.


Agence-France Presse







































Jumat, Oktober 29, 2010

Tiga Kriteria Penting untuk Asuransi Bencana

Tiga Kriteria Penting untuk Asuransi Bencana
Pertama, apakah premi dibayar pertahun, lima tahun atau terus seumur hidup? Apa tiga lagi?
JUM'AT, 29 OKTOBER 2010, 06:32 WIB
Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam

VIVAnews - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz menyatakan usulan mengenai asuransi bencana dengan premi dibayarkan APBN pada prinsipnya suatu ide yang bagus.

"Saya tahu usulan itu pertama dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Memang pernah dilontarkan tapi belum diterima oleh komisi VIII waktu itu. Sekarang nampaknya ide itu sudah muncul dan berkembang di kabinet," kata Harry Azhar dalam perbincangan telepon dengan VIVAnews, Kamis 28 Oktober 2010.

Namun menurutnya tidak semudah itu untuk mengadakan asuransi bencana itu, mesti mempertimbangkan beberapa kriteria-kriteria dasar terlebih dahulu agar lebih jelas bentuknya. Kriteria pertama, soal time frame premi yang dibayarkan APBN itu berapa lama.

"Apakah premi dibayar berdasarkan APBN pertahun, lima tahun, atau terus seumur hidup? Ini harus jelas dulu. Sebab asuransi itu semakin lama time frame-nya maka preminya semakin mahal," kata Harry Azhar.

Kedua, soal jenis perlindungannya. Apakah asuransi isi melindungi orang yang menjadi korban bencana, atau bangunan saja, atau seluruh infrastruktur rusak, atau malah melindungi semua itu?

"Ini menyangkut asset valuation juga. jadi mesti dihitung betul-betul. Termasuk apakah full coverage, atau 80 persen saja, atau berapa yang bisa di-cover dari bencana itu," kata Harry Azhar.

Ketiga, soal penunjukan perusahaan asuransi. Apakah BUMN, perusahaan swasta nasional, atau perusahaan asing. "Ini pun mesti dicermati. Tidak bisa main tunjuk saja, kan harus ada penjelasannya juga kenapa perusahaan ini misalnya," kata Harry Azhar.

Ketiga hal tersebut menurut Harry Azhar penting untuk dirumuskan secara baik. Karena bagaimanapun asuransi bencana itu terkait dengan ekpektasi bencana.

"Jika ada teknologi yang sudah bisa memperkirakan bahwa bakal terjadi bencana di suatu tempat, tentu asuransi akan lebih mahal. Makanya ini juga harus dirumuskan, apakah asuransi (bencana) itu untuk seluruh Indonesia?" kata Harry Azhar.

Lebih jauh, Harry Azhar menghimbau agar wacana asuransi bencana itu dijelaskan dan dirumuskan secara transparan. "Sebab kalau tidak, nanti malah bisa menjadi moral hazard. Tapi pada dasarnya ini ide bagus. Makanya mesti dibicarakan secara transparan. Kalau DPR setuju dengan itu, saya kira itu baik dilakukan," kata Harry Azhar.

Hal senada diungkapkan Ketua Komisi XI Emir Moeis. Emir Moeis menyatakan usulan asuransi bencana mesti dipertimbangkan secara cermat sebelum diwujudkan.

"Usul atau ide itu boleh-boleh saja. Tapi kita harus lihat dulu, harus cermat," kata Emir. "Mesti kita lihat kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bisa di-cover dalam bencana itu, preminya seperti apa, mekanismenya bagaimana, dan lain-lain," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Menteri Keuangan Agus Matrowardojo mengatakan asuransi bencana itu masih dalam wacana. Pemerintah masih terus mempelajari asuransi bencana. Tapi menurut Menteri Keuangan seandainya jadi diwujudkan, pemerintah tidak keberatan kalau preminya dibayar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Preminya bisa dari APBN, yang penting kan prinsipnya seperti asuransi kerugian yang lain, tapi ini namanya asuransi bencana," kata Agus.


Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Matrowardojo mengatakan Pemerintah masih terus mempelajari asuransi bencana. Tapi menurut Menteri Keuangan seandainya jadi diwujudkan, pemerintah tidak keberatan kalau preminya dibayar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Preminya bisa dari APBN, yang penting kan prinsipnya seperti asuransi kerugian yang lain, tapi ini namanya asuransi bencana," kata Agus.

• VIVAnews

Kamis, Oktober 28, 2010

Komputasi Awan Siap 'Banjiri' Pasar Indonesia

Selasa, 19/10/2010 06:45 WIB

Komputasi Awan Siap 'Banjiri' Pasar Indonesia
Achmad Rouzni Noor II - detikinet

ilustrasi (inet)

Jakarta - Ibaratnya awan, penggunaan cloud computing di Indonesia mungkin masih terlihat tenang. Namun tunggu saja, 'komputasi awan' bisa seketika menurunkan hujan lebat dan membanjiri pasar.

"Untuk Indonesia nilai pasar dari komputasi awan memang masih kecil. Namun, tahun depan diprediksi mencapai Rp 2,1 triliun dengan sumbangan SaaS sebesar 40%. Telkom sendiri menguasai pasar sekitar 70%," ungkap Direktur Wholesales and Enterprise Telkom, Arief Yahya di Jakarta, Senin (18/10/2010).

SaaS merupakan satu dari tiga jenis layanan cloud computing yang tersedia, yakni Software as a Service (SaaS), Platform as a Service (PaaS) dan Infrastructure as a Service (IaaS).

Sementara dari sifat jangkauan layanan, terbagi menjadi Public Cloud, Private Cloud dan Hybrid Cloud. Konsep komputasi awan menjanjikan belanja modal untuk Teknologi Informasi (TI) diubah menjadi biaya operasional sehingga terjadi efisiensi.

Lembaga riset Gartner memperkirakan dalam waktu dua tahun mendatang 80% dari perusahaan kelas kakap dunia akan menggunakan cloud computing untuk meningkatkan daya saingnya.

Di tahun 2010 ini diperkirakan, nilai bisnis dari pemanfaatan teknologi internet untuk menyediakan sumber komputing itu secara global mencapai US$ 80 miliar dengan tingkat pertumbuhannya setiap tahun sebesar 25% dalam jangka waktu lima tahun mendatang.

Menurut Arief, potensi pasar yang besar untuk ditawarkan solusi komputasi awan adalah pemerintah karena berperan sebagai lokomotif di industri.

"Pemerintah secara regulasi membuka peluang bagi pelaku usaha, misalnya dengan adanya National Single Windows (NSW) yang membuat semua pelaku usaha berlomba mendukung program itu," ujarnya.

"Belum lagi secara belanja TI pemerintah daerah dan pusat itu lumayan besar, khususnya untuk pendidikan dan kesehatan. Di pendidikan saja ada alokasi dana Rp 200 triliun di mana 20% di antaranya untuk belanja TI," jelas Arief lebih lanjut.

Berdasarkan catatan, sektor pemerintah rata-rata mengambil porsi 11% dari belanja TI nasional yang tahun ini diperkirakan mencapai US$ 1,731 miliar atau tumbuh 11,9% dari tahun sebelumnya.

Arief menyarankan, pemerintah daerah agar tak segan memanfaatkan cloud computing karena bisa menekan biaya investasi dan membuat adanya efisiensi. "Pemerintah daerah tidak akan head to head secara geografis. Jika cloud computing dimanfaatkan, banyak dana yang bisa dihemat," jelasnya.

Pun ia mengimbau, jika akan ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah, faktor yang harus diperhatikan adalah masalah komitmen dari pemain asing untuk menggandeng investor lokal mengembangkan cloud computing.

"Harus ada regulasi yang mendorong kerjasama. Mulai dari pemasaran hingga kepemilikan bersama. Di bisnis software saja banyak sekali pemain asingnya. Padahal ini modalnya adalah kreatifitas," pungkasnya.

Data lain yang turut memperkuat bakal banjirnya solusi komputasi awan ialah dari International Data Corporation (IDC). Lembaga ini mencatat, pada 2009 lalu pendapatan dari public cloud mencapai US$ 16 miliar dan diperkirakan pada 2014 akan melonjak jadi US$ 55,5 miliar.

Sementara analis lainnya memperkirakan Private Cloud atau yang selama ini dikenal dengan enterprise cloud-based pada 2010 memiliki nilai US$ 12,1 miliar dengan pertumbuhan Compound Annual Growth Rate (CAGR) mencapai 43% pada tahun depan.

Produk SaaS akan menguasai segmen ini dengan proyeksi 70%. Sementara 30% lainnya datang dari solusi IaaS mulai tahun 2010 ini.


( rou / wsh )

Cloud Computing di Indonesia Terhadang Minimnya Bandwidth

Selasa, 19/10/2010 08:12 WIB

Cloud Computing di Indonesia Terhadang Minimnya Bandwidth
Andrian Fauzi - detikinet



Suhono (ash/inet)

Jakarta - Cloud computing (komputasi awan) adalah satu keniscayaan dalam masa depan teknologi. Namun minimnya bandwidth internet di Indonesia bisa menjadi kendala.

Demikian dikatakan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Balitbang SDM) Kementrian Komunikasi dan Informasi, Cahyana Ahmadjayadi usai seminar 'Innovation Cloud Computing' di Campus Center ITB.

Menurutnya, terjadi pro dan kontra mengenai pelaksaan komputasi awan di Indonesia. "Pro karena ingin segera melaksanakan sesegera mungkin. Namun saat ini bandwidth internet masih terbatas," katanya kepada detikINET, Senin (18/10/10).

Cahyana, begitu pria ini akrab dipanggil menambahkan bahwa saat ini banyak operator yang memiliki data center. Dan jika melihat kondisi di Indonesia yang masih terbatas bandwidth internetnya maka diperlukan waktu 3-5 tahun untuk bisa mengoptimalkan penggunaan komputasi awan.

"Saya perkirakan perlu waktu 3-5 tahun. Patokan tersebut berdasarkan life cycle sebuah proyek. Namun tentunya harus ada inovasi dalam pengembangannya," ungkapnya.

Senada dengan Cahyana, Ketua Kelompok Keilmuan Teknologi Informasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB, Suhono Harso Supangkat mengungkapkan diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa mensejajarkan komputasi awan di Indonesia dengan negara-negara lainnya.

"Ya sekitar 5-10 tahun. Namun harus ada kolaborasi yang bagus antara akademisi, industri dan pemerintah. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri," tegasnya.

Saat ini, lanjut Suhono, pihaknya tengah melakukan riset untuk pengembangan komputasi awan. Dari riset ini diharapkan dapat mengimplementasikan komputasi awan di Indonesia.

"Sudah 6 bulanan kita melakukan penelitian. Kita antipasi kebutuhan teknologi dan apa yang harus dikuasai dalam cloud computing ini," katanya.

Sebelumnya ITB menandatangani kerjasama dengan TRG. Dalam kerjasama tersebut, TRG memberikan fasilitas untuk penelitian dan pengembangan teknologi komputasi awan.

( afz / wsh )

Selasa, 26/10/2010 19:01 WIB

60% Karyawan Yakin, Kerja Tak Perlu dari Kantor
Trisno Heriyanto - detikinet



ilustrasi (detikcom)

Jakarta - Daripada pusing terjebak macet, banjir dan lain sebagainya, bukankah lebih enak jika bisa bekerja dari mana saja? Setidaknya 60 persen karyawan mengakui hal itu.

Demikian hasil survei Cisco bertajuk Cisco Connected World Report. Dari seluruh responden, 60 persen karyawan mengatakan percaya tidak perlu pergi ke kantor untuk melakukan rutinitas mereka.

Kemajuan teknologi serta perangkat digital lain dikatakan telah memungkinkan pengguna untuk bekerja di mana saja, apakah itu di rumah atau di cafe. Salah satu teknologi yang disebut-sebut adalah dengan telepresence.

Survey tersebut diikuti oleh 2600 karyawan TI dari 13 negara. Hasilnya, tiga dari lima karyawan (sekitar 60%) percaya bahwa mereka bisa tetap produktif meski pun berada di luar kantor.

"Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang, salah satunya lingkungan. Berada di luar kantor seperti di rumah atau tempat lainnya, terkadang bisa meningkatkan kinerja," ujar Lauren Ventura, Senior Director Marketting, Asia Pasicic, Cisco ketika melakukan telepresence kepada sejumlah wartawan di kantor Cisco Indonesia, Wisma Arkadia, Jakarta, Selasa (26/10/2010).

Pendapat Lauren tersebut diperkuat dengan hasil survey di India yang menunjukan bahwa, 90 persen responden berpendapat mereka tidak perlu ke kantor untuk menjadi produktif. Hasil serupa juga didapat oleh korespoden asal China dan Brazil.

Lantas bagaimana di Indonesia?


"Untuk Indonesia, sistem kerja yang demikian sepertinya belum bisa diterapkan, karena masih banyak perusahaan yang menerapkan sistem kerja konvensional," ujar Arthur Siahaan, Director Sytem Engineering Cisco Indonesia, dalam kesempatan yang sama.

Pun demikian bukan berarti tenaga kerja di Indonesia tidak bisa mencicipi hal tersebut, beberapa perusahaan TI sudah menerapkan sistem yang dianggap bisa meringankan biaya operasional tersebut.

"Di Cisco Indonesia kami sudah lama menerapkan hal tersebut. Kami bisa meeting di mana saja dan kapan saja selama terkoneksi dengan internet," tandas Arthur.
( wsh / wsh )

Perkuat Cloud Computing, IBM Caplok Perusahaan Jaringan

Senin, 11/10/2010 13:15 WIB

Perkuat Cloud Computing, IBM Caplok Perusahaan Jaringan
Trisno Heriyanto - detikinet

Jakarta - IBM akhirnya memutuskan untuk menandatangani kesepakatan definitif untuk mengakuisisi BLADE Network Technologies (BLADE), sebuah perusahaan swasta yang berpusat di Santa Clara, Amerika Serikat.

Akuisisi BLADE didasari keinginan IBM unutk mengoptimal berbagai beban kerja baru yang semakin kompleks. Untuk itu mereka memperkenalkan serangkaian sistem baru yang diklaim memiliki kinerja lebih baik.

Dengan BLADE, IBM berencana merangsang inovasinya di setiap jejaring sistem. Tujuannya, agar pelanggan dapat mempercepat penghantaran informasi penting dari satu sistem ke sistem yang lain –untuk beban kerja seperti analitik dan komputasi awan– di samping mengurangi biaya pusat data.

BLADE menyediakan piranti lunak dan switch top-of-rack dan server blade untuk memvirtualisasikan dan mengelola komputasi awan dan beban kerja lainnya. Berdasarkan data penjualan IBM, Blade memiliki banyak pelanggan perusahaan yang bergerak dibidang otomotif, layanan telekomunikasi, pendidikan, pemerintah, perawatan kesehatan, pertahanan dan keuangan.

Dengan demikian, akusisi yang dilakukan oleh IBM diharapkan dapat memperkuat infrastruktur mereka untuk berbagai layanan yang disediakan.

“BLADE akan membantu IBM mengintegrasikan jaringan dengan sistem-sistemnya secara lebih baik, sehingga optimalkan untuk beban kerja yang membutuhkan performa berlatensi rendah dan kecepatan tinggi, seperti cloud computing dan analitik bisnis. ” jelas Fetra Syahbana, Country Manager, System & Technology Group, melalui keterangan tertulis yang diterima detikINET, Senin (11/20/2010).

( eno / wsh )

Cloud Computing, Pemerintah Serap Aspirasi Industri

Selasa, 19/10/2010 09:00 WIB

Cloud Computing, Pemerintah Serap Aspirasi Industri
Andrian Fauzi - detikinet

Cahyana (inet)

Jakarta - Indonesia saat ini tengah mencoba untuk mengadopsi teknologi cloud computing. Teknologi yang sudah diterapkan di beberapa negara ini perlu dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari akademisi, industri dan pemerintah.

"Kita menunggu aspirasi dari industri. Insentif seperti apa yang diinginkan. Karenanya saya menyambut baik inisiasi dari ITB yang membahas tentang cloud computing ini," ungkap Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Balitbang SDM) Kementrian Komunikasi dan Informasi, Cahyana Ahmadjayadi saat berbincang dengan detikINET di ITB, Senin (18/10/10).

Disinggung apakah pemerintah akan siap mengabulkan insentif yang diinginkan oleh pelaku industri, Cahyana mengaku siap menampung aspirasi dari pelaku industri.

"Terserah pelaku industri. Saya datang ke sini (ITB - red) dalam rangka mempersiapkan diri. Toh ini (cloud computing - red) kan dalam rangka efisiensi nasional," katanya.

Cahyana juga mencontohkan pelaksanaan cloud computing di beberapa negara. Seperti Thailand, China, Vietnam, dan India. Menurutnya di negara-negara tersebut terjadi kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan pelaku industri.

Di Thailand misalnya, strategi yang dilakukan adalah join kolaborasi dengan ISP lokal, data center operator dan beberapa perusahaan software yang dipilih pemerintahnya. Atau di China yang pemerintahnya menyediakan dana dan sumber daya manusia, serta membangun komunitasnya.

Di Vietnam, pemerintahnya mendorong investasi asing untuk membangun cloud computing serta mengembangkannya di universitas-universitas. Begitu pula dengan di India. Di negara Sungai Gangga ini pemerintahnya mendorong industri lokal softwarenya untuk mengembangkan teknologinya.

"Itu model pelaksanaa di beberapa negara. Tentunya Indonesia punya yang spesifik. Ada yang khas Indonesia dan itu yang akan kita dorong," ungkapnya.

Dijelaskan olehnya, beberapa strategi yang umum dilakukan oleh negara-negara lain dalam mengimplementasikan cloud computing adalah dengan joint collaboration antara ISP, data center, provider software dan pemerintah. Selain itu juga dengan melakukan reusing fasilitas dan infrastruktur yang sudah ada.

"Peningkatan kemampuan SDM juga menjadi strategi yang penting dilakukan," tukasnya.

( afz / wsh )

Cloud Computing Ancam Pekerja TI Konvensional

Kamis, 21/10/2010 16:06 WIB

Cloud Computing Ancam Pekerja TI Konvensional
Trisno Heriyanto - detikinet



ilustrasi (inet)

Jakarta - Komputasi awan, atau yang akrab disebut Cloud Computing bisa dibilang merupakan solusi baru dalam industri TI Tanah Air. Dengan layanan tersebut, pengguna dijanjikan bakal mendapatkan banyak sekali keuntungan, seperti rendahnya biaya operasional atau pun pemanfaatan waktu yang lebih baik.

Namun di balik itu, hadirnya cloud computing juga diprediksi bisa mengancam para tenaga kerja TI di Indonesia, yaitu mereka yang masih bekerja secara konvensional. "Cloud Computing bakal mengancam para tenaga kerja TI konvensional," ujar Susanto Djaja, President Director Metrodata, di Shangri La Hotel, Kamis (21/10).

Apa yang dikatakan katakan Susanto bukanlah tanpa alasan. Ia mengklaim, teknologi itu bisa mempersingkat waktu ketika pengguna ingin melakukan perubahan. Sehingga, kehadiran pekerja TI konvensional di lokasi tidak selalu dibutuhkan.

"Contoh kasus jika Anda ingin mengganti sofware dari versi 1 ke 2, yang ada di seribu client, di seluruh Indonesia. Kini tidaklah tenaga IT harus pergi ke masing-masing cabang, cukup dengan satu klik di Cloud Computing semuanya beres," tambah Susanto.

Meski belum banyak digunakan, layanan Clod Computing tampaknya mulai menjamur di Indonesia. Beberapa vendor besar pun sudah menyiapkan beberapa produknya, sebut saja Dell, Hewlett-Packard (HP), Cisco atau pun Microsoft.

Siapkah pekerja TI konvensional Indonesia untuk perubahan itu?


( wsh / wsh )

Rencana Bisnis Lemah, UKM TI Susah Dapat Kucuran Dana

Kamis, 28/10/2010 08:51 WIB

Rencana Bisnis Lemah, UKM TI Susah Dapat Kucuran Dana
Andrian Fauzi, - detikinet



Ilustrasi (Ist.)

Jakarta - Kebutuhan dana merupakan salah satu kendala dalam pengembangan bisnis para pelaku Usaha Kecil Menengah berbasis teknologi informasi (UKM IT). Celakanya, lembaga keuangan masih belum melirik potensi bisnis di UKM TI.

Ketidaktertarikan lembaga keuangan tersebut lantaran UKM TI dinilai masih lemah dalam merancang rencana bisnisnya. Kebanyakan dari mereka hanya fokus ke pengembangan produk tanpa melihat potensi pasarnya.

Hal ini terungkap dalam seminar 'Peran Inkubator Bisnis dalam Menumbuhkembangkan Small Medium Enterprise dan Skema Sumber Pendanaan bagi Start Up Company' di Jabar Craft Center.

"Sebagian besar dari mereka (UKM TI-red.) fokus bicara tentang produk. Padahal dari sisi bisnis, produk harus didukung dengan pasar yang jelas," ujar Senior Partner Blindspot Advisor, Diyanto Imam saat berbincang dengan detikINET usai acara.

Blindspot Advisor adalah salah satu lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada pelaku UKM TI. Sebagai lembaga keuangan yang tentunya berorientasi bisnis, Diyanto mengaku bahwa saat ini belum banyak UKM TI yang mendapatkan pendanaan dari pihaknya.

Pasalnya, banyak UKM TI masih memposisikan dirinya sebagai developer dan belum sebagai entrepreneur sehingga tidak kelihatan prospek bisnis yang digelutinya.

"Kalau mereka (UKM TI-red.) diberi kesempatan presentasi 10 menit, waktunya habis untuk menerangkan proses pembuatan aplikasi padahal yang lebih penting justru rencana bisnisnya," katanya.

Dia mengatakan Blindspot Advisors siap mengucurkan kredit antara Rp 100 - Rp 500 juta tanpa agunan dengan tenor 12 bulan kepada UKM TI yang memiliki visi dan misi yang jelas dalam berbisnis. Suku bunga yang ditetapkan perusahaan pembiayaan itu sebesar 5 persen di atas suku bunga Bank Indonesia.

Senada dengan Diyanto, Koordinator Inkubator Inovasi Telematika Bandung (I2TB) Ferie Budiansyah menambahkan, UKM TI cenderung terfokus pada proses pembuatan aplikasi atau konten. Tapi belum bisa memetakan cara penetrasi dan menghadapi persaingan pasar.

"Jumlahnya sangat banyak. Kemampuan mereka juga tidak kalah dengan yang lain. Tapi sebagian besar secara manajemen bisnis mereka belum mumpuni," katanya.

Sebagai inkubator bisnis, saat ini I2TB sudah menjalin kerjasama dengan dua lembaga keuangan non-perbankan, yaitu PT Sarana Jabar Ventura dan Blindspot Advisors dalam pembiayaan UKM TI binaannya. Dari 11 perusahaan binaan I2TB, saat ini baru dua mitra yang mendapatkan pembiayaan tanpa agunan.

( afz / ash )

Minggu, Oktober 24, 2010

G20 Dukung Pencegahan Perang Mata Uang

Minggu, 24/10/2010 18:18 WIB
G20 Dukung Pencegahan Perang Mata Uang
Suhendra - detikFinance

(Ilustrasi Foto: dok detikFinance)


Jakarta
- Pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Gyeongju Korea Selatan tanggal 22 - 23 Oktober 2010 menghasilkan tujuh kesepakatan. Salah satu kesepakatan itu antara lain G20 mendukung pencegahan kompetisi atau perang mata uang dalam ekonomi global saat ini.

Berdasarkan siaran pers yang diperoleh
detikFinance dari Kementerian Keuangan, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 sepakat untuk melakukan respon bersama yaitu terkait:


  1. Reformasi struktural untuk mendorong dan memelihara tingkat permintaan global, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan potensi pertumbuhan.
  2. Melanjutkan implementasi reformasi regulasi sektor keuangan.
  3. Negara maju melaksanakan konsolidasi fiskal secara kredibel dengan memperhatikan dampak pada pemulihan ekonomi global.
  4. Melanjutkan kebijakan moneter yang berorientasi untuk menjaga inflasi.
  5. Melakukan upaya untuk menerapkan sistem nilai tukar yang merefleksikan fundamental ekonomi dan menghindari devaluasi kompetitif mata uang. Negara maju akan menjaga agar volatilitas mata uang tidak terlalu besar sehingga turut melindungi emerging market dari dampak arus modal yang fluktuatif. G20 sepakat untuk mendorong sistem moneter internasional yang efektif dan stabil, serta menugaskan IMF untuk membantu analisa terhadap dampak sistemik kebijakan ekonomi.
  6. Menjaga komitmen untuk menghindari proteksionisme.
  7. Memperkuat kerja sama multilateral untuk mendorong sustainabilitas eksternal dan mendorong kebijakan yang kondusif untuk mengurangi ketidakseimbangan neraca pembayaran termasuk dengan mengeksplorasi panduan indikatif sebagai bagian dari Mutual Assessment Process, dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing negara anggota. G20 menugaskan kepada IMF untuk membantu analisa terhadap upaya mencapai sustainabilitas eksternal dan konsistensi dari kebijakan fiskal, moneter, sektor keuangan, struktural, dan nilai tukar dari masing-masing anggota G20.

Pada pertemuan kali ini juga disepakati upaya penyusunan rencana aksi untuk dipertimbangkan oleh para Kepala Negara G20 pada KTT Seoul bulan November nanti, yaitu upaya mencapai tujuan bersama dalam kerangka Framework for Strong, Sustainable, and Balanced Growth.

Terkait dengan reformasi sektor keuangan, G20 telah berhasil mencapai kemajuan yang signifikan sejak kesepakatan di Washington tahun 2008. G20 bertekad untuk memperkuat kemajuan yang telah dicapai dalam hal regulasi sektor keuangan melalui implementasi secara konsisten termasuk antara lain:


  1. Implementasi menyeluruh dari kerangka likuiditas dan permodalan perbankan yang telah ditetapkan oleh Basel Committee.
  2. Mendorong rekomendasi FSB dalam upaya meningkatkan efektivitas dan intensitas pengawasan.
  3. Mendukung upaya FSB untuk memitigasi masalah lembaga keuangan sistemik dan mengatasi masalah "too big to fail."
  4. Implementasi seluruh agenda regulasi keuangan G20 secara terkoordinir, termasuk komitmen menyangkut OTC derivatives, praktek kompensasi, dan standar akuntansi serta prinsip-prinsip FSB untuk mengurangi ketergantungan pada credit rating agencies.
  5. Meneruskan upaya membentuk kerangka kebijakan macro-prudential, termasuk dalam rangka memitigasi dampak volatilitas arus modal, merefleksikan perspektif emerging market dalam reformasi regulasi keuangan, pasar derivatif komoditi, shadow banking, dan integritas pasar.
  6. Melanjutkan upaya untuk mengatasi masalah non-cooperative jurisdictions.

Terkait dengan reformasi kuota dan governance IMF, G20 bertekad memenuhi komitmen KTT Pittsburgh dalam rangka menciptakan IMF yang lebih kredibel, efektif dan legitimate, termasuk dengan menyepakati:


  1. Pengalihan kuota shares ke negara berkembang dan dynamic emerging markets (EMDCs) dan kepada negara yang under-represented sebesar 6% dengan tetap melindungi voting share dari negara miskin.
  2. Penggandaan jumlah kuota, yang diikuti dengan penyesuaian shares di NAB.
  3. Melakukan review komprehensif terhadap formula kuota pada bulan Januari 2013 agar lebih mencerminkan bobot ekonomi, dan meningkatkan suara dan keterwakilan EMDCs, serta menyelesaikan review kuota berikutnya pada bulan Januari 2014.
  4. Mengalihkan kursi Eropa di Dewan Eksekutif IMF sebanyak 2 kursi, untuk dialihkan ke EMDCs.
  5. Menyepakati proses seleksi menyeluruh di Dewan, menjaga jumlah kursi tetap sebanyak 24 buah, dan melakukan review terhadap hal ini setiap 8 tahun sekali. G20 juga sepakat untuk melanjutkan pembahasan terkait pembentukan global financial safety net, termasuk dengan menyempurnakan instrumen-instrumen IMF agar lebih menyuarakan kepentingan negara anggota.

Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral juga mendorong progress dan rencana aksi di Kelompok Kerja Pembangunan, dalam rangka mendorong inklusivitas dan ketahanan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. G20 berkomitmen untuk mencapai MDGs di tahun 2015, termasuk dengan memperkuat ODA. G20 akan meningkatkan sumber daya di IDA Bank Dunia, serta mendorong kemajuan di Global Agriculture and Food Security Program.

G20 juga sepakat untuk memajukan agenda financial inclusion dan pendanaan SMEs, serta akan membentuk mekanisme konsultasi global untuk memaksimalkan agenda tersebut.

Seperti diketahui negara-negara anggota G20 meliputi Argentina, Australia, Brazil, Canada, China, France, Germany, India, Indonesia, Italy, Japan, Mexico, Republic of Korea, Russia, Saudi Arabia, South Africa, Turkey, United Kingdom, United States, dan European Union.

(hen/dro)