Kamis, Maret 31, 2011

Profesor Harvard Ingatkan Ancaman Krisis 2012

Profesor Harvard Ingatkan Ancaman Krisis 2012
Pola krisis ekonomi terjadi setiap 15 tahun sekali. Krisis telah terjadi pada 1982 & 1997.
JUM'AT, 11 MARET 2011, 16:14 WIB
Hadi Suprapto, Nur Farida Ahniar

VIVAnews - Profesor dari Universitas Harvard, Jeffrey Frankel, menjelaskan bahwa jika sesuai pola sejarah, pada 2012 bakal terjadi krisis ekonomi di negara-negara berkembang. Hal tersebut berdasarkan pola krisis ekonomi yang terjadi setiap 15 tahun sekali.

Ramalan Frankel ini berdasarkan krisis ekonomi sebelumnya yang terjadi pada 1982 dan 1997. Frenkel membagi tiga putaran besar dunia pada negara berkembang. Pertama, yaitu 1975-1981, di mana pada 1982 terjadi krisis utang internasional.

Kedua, yaitu saat negara berkembang mulai melambung pada 1990-1996. Krisis pada era itu terjadi pada 1997-1998 di negara Asia, dan pada 1998-2002 di Rusia, Brazil, Argentina, dan Turki.

Ketiga, terjadi saat pasar modal melambung pada 2003-2008, yang menyebabkan krisis finansial global pada 2008-2009. “Jika saya seolah-olah paranormal, saya katakan putaran krisis terjadi setiap 15 tahun sekali, dan krisis di negara berkembang akan terjadi pada 2012," kata Frankel pada seminar Coping With Asia’s Large Capital Inflows in A Multi Speed Global Economy di Bali, Jumat 11 Maret 2011.

Dalam seminar itu, Frankel membahas bagaimana mengelola arus modal masuk (capital inflow), yaitu melalui dua cara: menumpuk cadangan devisa dan memperkuat nilai tukar. Dia menegaskan, yang berhasil hanyalah negara yang menerapkan dua kebijakaan itu.

Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, mengatakan Indonesia melakukan berbagai kebijakan agar dana asing ini tak mengganggu ekonomi domestik.

Dia menjelaskan ada lima kebijakan kunci yang dilakukan bank sentral. Pertama, kebijakan suku bunga yaitu BI rate ditetapkan untuk mencapati stabilitas harga, dengan mempertimbangkan outlook ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan.

Kedua, fleksibilitas nilai tukar. Bank Indonesia mengendalikan rupiah untuk menolong pencapaian stabilitas harga.

Ketiga, akumulasi cadangan devisa, dengan melakukan perlindungan terhadap risiko pembalikan modal yang besar-besaran.

Keempat, kebijakan pengawasan makro stabilitas keuangan dan perekonomian secara umum (macroprudential) terhadap aliran modal agar tepat sasaran.

Kelima, memperkuat operasi moneter dan kebijakan macroprudential dalam sistem stabilitas finansial untuk manajemen pengelolaan likuiditas domestik dalam menghadapi serbuancapital inflow.

• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar