VIVAnews- Pengamat ekonomi menilai pertumbuhan kelas menengah yang pesat harus diwaspadai, terutama jika pertumbuhannya tidak merata. Jika tidak diantisipasi, pertumbuhan kelas menengah ini justru bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Peneliti Senior LPEM Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan, menjelaskan potensi meningkatnya kelas menengah tidak menjamin bisa menghasilkan pertumbuhan inklusif dan penciptaan lapangan kerja. Sebab, mereka belum tentu merupakan wiraswasta yang menciptakan lapangan kerja.
Jika pertumbuhan ekonomi tersebut hanya menciptakan kalangan menengah yang sebagian besar merupakan kalangan profesional maka akan tidak produktif. Misalnya, akan terjadi kekacauan di jalan raya karena sarana publik yang kurang, sementara kalangan itu semakin mudah membeli kendaraan pribadi.
"Akibatnya, yang semula ekonomi bisa tumbuh menjadi 7 persen, nanti bisa turun ke 5 persen karena terjadi kemacetan yang parah di jalan," ujarnya kepada VIVAnews di Jakarta.
Pertumbuhan yang tidak merata seperti tidak meratanya pendidikan juga akan memicu terjadinya pertentangan antar kelas. "Seperti di Prancis ada pertentangan di kalangan pekerja dan kelas menengah" ujarnya.
Untuk menghindari itu, pemerintah harus melakukan perubahan kebijakan yang sesuai. Misalnya, kata Ikhsan, pemberian subsidi harus dikembalikan ke kelas bawah agar kalangan itu dapat tumbuh. Namun di sisi lain pemerintah harus memperbaiki sarana infrastruktur dan fasilitas publik seperti stasiun, angkutan publik sehingga masyarakat kelas menengah dapat memanfaatkan fasilitas itu tanpa menggunakan subsidi.
Cara lainnya adalah menyediakan pendidikan seluasnya seperti pendidikan internasional yang biayanya mahal untuk mengakomodasi kelas menengah atas. "Jika tidak mereka akan masuk ke sekolah negeri favorit, dan orang kelas menengah bawah atau kelas bawah sulit masuk ke sekolah negeri yang bagus," ujarnya.
Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah kelas menengah Indonesia pada 2010 sebesar 134 juta jiwa atau 56,6 persen. Jumlah ini meningkat pesat pada 2003 yang jumlahnya hanya 37,7 persen.
Di sisi lain, menurut Ekonom Bank Dunia, Subham Caudhury, selama periode pengentasan kemiskinan pasca krisis, kesenjangan makin melebar. Sejak 2000 hingga 2002, kemiskinan turun lebih dari satu poin, sedangkan kesenjangan meningkat hampir 4 poin. Walau kesenjangan yang ada masih dalam batas toleransi, tren ini meningkat. Hal yang sama yang juga ditunjukkan negara-negara yang sedang tumbuh pesat seperti Cina dan India
Menurut dia, upaya pemerataan harus dimulai dengan pendidikan. Pemerintah juga harus memperhatikan kalangan miskin yang rentan pada harga pangan. Pasalnya, 60 persen penghasilan kaum miskin, masih dibelanjakan untuk pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar