VIVAnews – Seiring dengan perubahan cuaca dunia yang sangat ekstrim akhir-akhir ini, harga pangan dunia terus melambung. Harga beras internasional tercatat melampaui US$500 per ton. Harga minyak sawit mentah juga melambung di atas US$1.400 per ton, tertinggi dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Di Indonesia, harga-harga sembako mulai bergerak naik. Pengusaha Sofjan Wanandi khawatir jika kenaikan harga-harga pangan tidak diantisipasi bisa memicu kerawanan sosial. Berikut wawancara wartawan VIVAnews.com,Mohamad Teguh dan Hadi Suprapto dengan pengusaha Sofjan di kantornya, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu 22 Desember 2010:
Bagaimana Anda melihat fenomena perubahan iklim yang ekstrim dan dampaknya terhadap Indonesia?
Sebetulnya yang saya cemaskan ada dua.
Pertama, dari sisi finansial, terutama dengan situasi terkini, ancaman keruntuhan pasar finansial di Eropa. Setelah jatuhnya Yunani dan Irlandia. Sekarang Portugal dan Spanyol. Padahal skala ekonomi Spanyol ini besar, mungkin bisa sebesar penggabungan Yunani, Irlandia, dan Portugal. Nah, ini kalau ada apa-apa di Spanyol dan Italia, seluruh Eropa bisa guncang.
Kalau Eropa krisis maka yang terkena pertama kali Amerika yang saat ini dalam tahap pemulihan. Kalau krisis Amerika dan Eropa tak kunjung membaik, ini akan sangat berpengaruh pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Kurs bisa bergejolak dan kondisi ini mengakibatkan harga pangan [dunia] ikut naik. Mengapa? Karena beras masih impor, gula impor, gandum juga impor. Kalau seperti ini, mampukah rakyat kita membeli makanan?
Kedua, karena cuaca ekstrim. Perubahan cuaca yang terjadi saat ini menyebabkan gagal panen di mana-mana, termasuk di Indonesia yang sepanjang tahun ini diguyur hujan. Kondisi seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah jumlah pangan nasional mencukupi kebutuhan?
Saya khawatir kalau stok kurang, harga beras bisa melonjak hingga Rp10 ribu [per kilogram]. Impor sebesar 1,2 juta ton saja sepertinya belum bisa menurunkan harga beras.
Pemerintah menyatakan kekhawatiran terhadap kenaikan harga pangan terlalu berlebihan, bagaimana menurut Anda?
Oh…begitu. Bagaimana kalau data pemerintah salah. Siapkah kalau terjadi apa-apa. Jangan lupakan bahwa Soekarno dan Soeharto jatuh karena harga-harga melambung. Apa ini mesti terulang?
Menurut Anda, keadaan seperti ini pernah terjadi pada masa Soeharto?
Tidak persis, tapi situasi hampir sama dengan krisis keuangan Thailand pada 1997. Saat ituhot money datang, lalu lari semuanya. Itu karena finansial tidak siap. Finansial runtuh, lalu barang-barang naik. Anak-anak demo. Soeharto turun. Ini tidak sama, tapi ada kami ada kekhawatiran seperti itu.
Gejala-gejala ketidakpastian dan potensi kerawanan sosial ini yang kami khawatirkan. Sebab, bagaimanapun, ujungnya nanti yang kena kami-kami [pengusaha] juga.
Apa saran Anda bagi pemerintah?
Amankan pasokan. Pemerintah sebaiknya secepatnya mengimpor bahan makanan sebelum harga lebih tinggi. Sekarang tidak ada pilihan, selain mengimpor. Negara-negara lain juga seperti ini. Lihat saja China, berapa banyak dia membeli kedelai. Tidak perlu gengsi.
Setelah itu baru meningkatkan produksi. Pada musim tanam mendatang, kasih modal bagi petani untuk membeli bibit dan pupuk. Karena petani tidak bisa membayar utang [karena kegagalan panen]. Kalau pemerintah tidak mau, ya produksi tidak mungkin bertambah.
Bagaimana strategi untuk jangka panjang?
Intinya kepemimpinan. Pemimpin tidak bisa bersikap begini: biarlah waktu yang menyelesaikan. Di seluruh dunia saat ini sedang fokus bagaimana menghadapi krisis. Bukan malah mengurusi masalah politik, dari masalah Cicak-Buaya, Kasus PT Bank Century hingga masalah yang yang tidak perlu seperti isu keraton. Dalam kepemimpinan setahun terakhir ini nyaris tidak ada pemikiran soal ekonomi.
Perekonomian Indonesia saat ini ibaratnya seperti memakai autopilot saja. Dulu pemerintah selalu menjadi lokomotif pertumbuhan, sekarang rasanya lokomotif sudah beralih ke pengusaha.
Bukankah pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik?
Kita tumbuh tidak sehat, hanya disokong pada industri sumber daya alam dan jasa saja. Sumber daya alam hanya menjual barang mentah saja, sedangkan jasa, pasti tumbuh karena penduduk Indonesia banyak. Bahan tambang itu terbatas, kalau dijual terus akan habis. Nah, pertumbuhan tidak sehat ini yang menyebabkan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kondisi ini akan menambah subsidi, baik subsidi BBM, listrik, beras miskin, atau yang lain. Seberapa lama negara ini akan kuat? Sedikit saja bergejolak, negara kita akan kolaps.
Anda kelihatannya sangat pesimistis?
Saya hanya ingin membangunkan bahwa kita punya masalah besar, dan jangan hanya bicara yang enak-enak saja. Kalau ceritanya bagus-bagus jadi yes man semua.
Pemerintah juga sudah banyak janji namun tidak ada yang ditepati. Kita ini kan hanya nagih janji saja. Contohnya, sejak 2004 lalu pemerintah janji akan membereskan masalahbottlenecking. Mana hasilnya, tetap saja enam tahun berlalu tidak ada penyelesaian yang kongkret. Yang terjadi bukan bottlenecking, tapi malah nambah neck.
Terus janji membangun infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan. Mana hasilnya sampai saat ini infrastruktur ya segitu-segitu saja. Tahun ini praktis tidak investasi baru masuk.
Ini yang menyebabkan beberapa konglomerat mulai ‘memboyong’ usahanya ke negara lain?
Ya. Ini common sense sekali kok, mereka akan mencari tempat tempat yang kompetitif untuk berusaha. Misalnya, ada pengusaha pulp and paper yang mau investasi sangat sulit. Nah, di Brasil dia malah ditawarkan untuk mengelola lahan 300 ribu hektare.
Di sini susah, sementara ada duit, gimana lagi. Terus ada pengusaha properti yang ekspansi di Vietnam. Sekarang bisnis dia di Vietnam malah jauh melebihi yang di Indonesia. Ini semua bisnis. Tidak ada yang aneh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar