Senin, Agustus 09, 2010

Saatnya Memperbaharui Rupiah?

PROF. ROSS MCLEOD
Saatnya Memperbaharui Rupiah?
Rupiah yang sekarang juga sebetulnya, di suatu masa dahulu, adalah ‘rupiah baru’
JUM'AT, 6 AGUSTUS 2010, 13:28 WIB
Karaniya Dharmasaputra

VIVAnews - Saya senang saat membaca kolom Agus Firmansyah di Jakarta Post edisi 19 Mei 2008, yang menyatakan bahwa mungkin sekarang ini saat yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah. Menurut Agus, rupiah adalah salah satu mata uang yang paling rendah nilainya di seantero dunia. Uang kertas dengan nilai terendah yang beredar saat ini adalah Rp1.000, yang kira-kira sekarang ini hanya setara dengan 10 sen AS. Uang logam, apalagi, sudah nyaris tak lagi digunakan. Satu rupiah saat ini hanya bernilai sekitar seperseratus sen dolar AS.

Gagasan dasar di balik penentuan nilai, atau daya beli, dari suatu unit mata uang adalah itu semestinya dapat berguna atau memudahkan pengguna berkaitan dengan skala transaksi yang biasanya berlangsung secara tunai. Apabila mata uang tidak dikelola dengan baik selama kurun waktu yang cukup panjang, sebagaimana yang terjadi pada rupiah selama ini, daya beli dari mata uang itu akan merosot secara signifikan sedemikian rupa sehingga transaksi tunai dalam skala terkecil pun harus dilakukan dengan beberapa ratus unit mata uang.

Ditinjau dari segi hukum, rupiah saat ini, seperti halnya dolar, sebetulnya masih terdiri dari 100 sen. Tapi saya bahkan tak lagi ingat pernah melihat koin sen digunakan dalam proses jual-beli dalam rupiah. Pelanggan Bank Indonesia (warga masyarakat pada umumnya, yang menggunakan mata uang rupiah yang dikeluarkan BI untuk bertransaksi) di masa lampau telah menentukan pilihannya, dengan mengurangi permintaan mereka akan uang sen ke level nol. Dengan itu, maka mereka juga sebetulnya telah mengurangi permintaan akan koin rupiah yang memiliki denominasi rendah hampir ke level nol.

Sebagai editor sebuah jurnal tentang ekonomi Indonesia, saya kerap dibingungkan oleh kecenderungan banyak penulis yang mencatatkan nilai uang dalam rupiah secara terperinci sampai ke digit yang paling kecil, daripada membulatkannya dalam jutaan, miliaran, atau bahkan triliunan. Tidakkah terbayangkan betapa pembaca jurnal akan kecewa jika nilai uang itu ditulis ‘Rp24,2 triliun’ ketimbang nilai yang ‘benar’ seperti Rp24.165.782.534.956 (yang juga seringkali merupakan taksiran saja)?

Sebaliknya: akan jauh lebih mudah untuk melihat sekilas, jika nilai uang itu hanya terdiri dari tiga atau empat digit ketimbang belasan digit atau bahkan lebih (dan sudah barang tentu lebih banyak angka dapat dimuat di satu tabel jika mereka dibulatkan lebih dahulu). Untuk alasan yang sama pula, akan sangat tidak nyaman jika harus melakukan transaksi bernilai rendah dalam bilangan nominal yang sangat besar.

Argumen untuk memperkenalkan ‘rupiah yang baru’ menurut saya cukup meyakinkan. (Rupiah yang ada sekarang juga sebetulnya, di suatu masa lalu bersifat baru, yang diperkenalkan untuk menggantikan rupiah yang lama, yang pernah menjadi hampir tak bernilai gara-gara hiperinflasi pada pertengahan tahun 1960-an.) Ringkasnya, sungguh tidak efisien jika kita harus menghitung dan bertransaksi dalam bilangan jutaan, jika hal itu sebetulnya bisa dengan mudah dilakukan dalam nominal ratusan atau ribuan.

Saya hanya bisa menemukan satu argumen-kontra untuk hal ini: bahwa peluncuran rupiah yang baru akan membingungkan dan mencemaskan warga masyarakat. Sudah barang tentu, jika proses transisi tak dilakukan secara hati-hati, hal itu akan terjadi. Tapi orang tidaklah bodoh. Asal pejabat tinggi pemerintah menerangkan alasan di balikperubahan ini secara teliti dan sabar, saya kira masyarakat akan memahaminya. Mungkin aspek yang paling penting untuk ditekankan ke masyarakat adalah bahwa rupiah yang lama akan dapat ditukarkan untuk rupiah yang baru dengan nilai, katakanlah, 1.000 untuk 1, selama jangka waktu yang cukup panjang. Mungkin juga masuk akal jika uang sen yang baru diluncurkan secara bersamaan.

Akan menarik untuk melihat apakah otoritas moniter serta pemerintah akan menerima saran bermanfaat ini secara serius. Akankah Bank Indonesia sebagai lembaga yang memonopoli penyediaan mata uang mengakui kenyataan, yaitu masyarakat kini hampir tidak lagi memiliki permintaan untuk rupiah dengan nominal rendah, dan secara mubasir harus dibebani untuk berurusan dengan uang kertas rupiah dengan nilai nominal besar bahkan untuk transaksi berskala kecil?

* Profesor ekonomi di Australia National University. Kolom ini diterjemahkan dari blog “Time to Renew the Rupiah?” yang dipublikasikan di laman Australia National University, Indonesia Project. Untuk artikel dalam bahasa Inggris, klik di sini.

• VIVAnews

http://analisis.vivanews.com/news/read/169433-saatnya-memperbaharui-rupiah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar