Amankah Investasi KPD?
Indro Bagus - detikFinance
Jakarta - Belakangan, pasar modal Indonesia sedikit diganggu dengan sebuah istilah yang akrab diabreviasikan sebagai KPD atau discretionary fund. Malah tak sedikit pula publik yang agak alergi dengan produk ini.
Tidak seperti dalam dunia medis yang mengenal istilah Ketuban Pecah Dini atau disingkat KPD, dalam dunia pasar modal kepanjangan KPD adalah Kontrak Pengelolaan Dana.
Nah, dalam artian paling umum, produk bernama KPD ini boleh dibilang agak mirip dengan produk reksa dana. Namun dalam artian khususnya, produk KPD dengan reksa dana memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Bapepam sendiri rencananya akan mengeluarkan aturan KPD pada pekan ini.
Dalam tulisan kali ini, detikFinance akan mencoba menjabarkan secara umum perbedaan antara produk KPD dengan reksa dana. KPD merupakan suatu kontrak bilateral antara investor dengan manajer investasi (MI). Sebaliknya, reksa dana dibentuk dengan mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) antara MI dan bank kustodian yang isinya mengikat pada pemegang unit penyertaan (investor).
Berangkat dari perbedaan di atas, karakter produk KPD dengan reksa dana pun menjadi saling berbeda. Dalam produk reksa dana, karena sifatnya kolektif, maka ada suatu standarisasi dalam perjanjian tersebut.
Contohnya, batasan investasi pada produk reksa dana. Produk reksa dana mengenal jenis-jenis produk seperti reksa dana pasar uang dimana seluruh investasinya ditempatkan pada efek pasar uang. Kemudian pada reksa dana pendapatan tetap dimana sebesar 80-100% pada efek pendapatan tetap dan 0-20% pada efek pasar uang.
Kemudian ada juga reksa dana saham dimana 80-100% pada efek saham, sedangkan 0-20% pada efek pasar uang. Ketentuan-ketentuan investasi reksa dana ditetapkan dan dilindungi oleh Bapepam-LK.
Untuk produk KPD, karena sifatnya bilateral, maka ketentuan batasan investasi menjadi sangat luwes, tergantung kesepakatan antara MI dengan masing-masing investor. Selain itu, investor juga bisa memberikan ketentuan yang tidak memperbolehkan MI menempatkan pendanaan pada saham-saham tertentu dan sebagainya.
Dalam produk reksa dana, terjadi percampuran aset atas aset seluruh pemegang unit penyertaan. Selain itu, kontrak kerja sama dengan bank kustodian dilakukan antara MI dengan bank kustodian. Investor reksa dana tidak menentukan sendiri bank kustodiannya. Biaya pengelolaan portofolio dan bank kustodian juga ditentukan oleh MI.
Reksa dana juga membutuhkan pengesahan notaris dan penerbitannya membutuhkan pernyataan efektif dari Bapepam-LK. Konsekuensinya, produk reksa dana dilindungi oleh Bapepam.
Sebaliknya, dalam produk KPD tidak demikian. Dikarenakan sifatnya yang bilateral, dalam produk KPD tidak terjadi percampuran aset dengan aset investor lainnya. Sebab, investor menunjuk sendiri bank kustodiannya. Dan karena itu, investor pun bisa menentukan sendiri biaya pengelolaan portofolio dan biaya bank kustodiannya sesuai kesepakatan masing-masing.
Pengesahan notaris pada KPD bisa dilakukan namun bisa juga tidak, tergantung pada keinginan saja. Dan yang pasti, KPD tidak membutuhkan pernyataan efektif Bapepam-LK, sehingga secara legal KPD tidak dilindungi oleh Bapepam-LK melainkan menjadi tanggung jawab bilateral antara MI dengan investor.
Kendati demikian, keduanya memiliki kesamaan yakni memberikan kuasa pada MI untuk menggunakan aset nasabah dalam berinvestasi, tentunya mengacu pada kesepakatannya masing-masing.
Hanya saja, dalam produk reksa dana pihak MI menjadi pihak yang aktif menerbitkan produk beserta karakter-karakternya, sedangkan dalam KPD, pihak yang aktif menentukan karakter kesepakatan berada di tangan investor.
Sederhananya, berinvestasi pada produk reksa dana ibarat membeli baju di mal yang memiliki karakter produksi massal, sedangkan berinvestasi di KPD seperti membuat baju di tukang jahit yang bentuknya bisa disesuaikan dengan kesepakatan bilateral.
Nah pertanyaannya kemudian, amankah produk KPD?
Belakangan mencuat sejumlah kasus seputar KPD yang boleh jadi membuat sebagian investor menjadi alergi dengan produk KPD dan lebih memilih reksa dana. Banyak investor berpandangan, tidak adanya pengawasan langsung dari Bapepam-LK atas produk KPD membuat investasi pada produk ini terlihat riskan.
Padahal sebenarnya, investasi dengan mekanisme KPD tidak melulu buruk. Buktinya, total nilai investasi KPD mencapai Rp 44 triliun, naik dari posisi awal tahun 2010 sebesar Rp 41 triliun.
"Nilai produk KPD saat ini Rp 44 triliun, meningkat dari awal tahun Rp 41 triliun," ujar Kepala Bapepam-LK Fuad Rahmany beberapa waktu lalu.
Menurut Fuad, investasi pada produk KPD sebetulnya tidak berbahaya. Hanya saja, sifat fleksibilitas KPD terkadang menimbulkan perselisihan (dispute) antara investor dengan MI, meskipun terkadang semuanya sudah sesuai koridor pasar modal.
Namun karena produk KPD tidak dilindungi oleh Bapepam-LK, maka dispute sering berkepanjangan dan ujug-ujug menimbulkan citra buruk pada produk ini. Padahal, lanjut Fuad, investasi produk KPD bukan diperuntukkan bagi semua investor.
"KPD memang pada dasarnya bukan untuk semua investor, tapi lebih kepada investor yang sophisticated, yaitu investor-investor yang suka dengan tingkat risiko tinggi dan bermodal besar. Kasarnya mereka yang suka bermain dengan ekstrem," ujarnya.
Fuad mengatakan, pada intinya investasi produk KPD adalah bagi orang-orang yang sudah memahami pasar modal, bukan bagi investor pemula. Ia juga mengatakan, seringkali dispute antara MI dengan investor pada produk KPD terjadi bukan karena adanya pelanggaran, melainkan lebih karena terjadinya kerugian.
"Kadang-kadang, investor KPD itu ribut karena terjadi kerugian. Padahal memang begitu karakter KPD, risiko tinggi tapi jika untung juga sangat besar. Masalahnya, seringkali dispute muncul karena kerugian saja, bukan karena ada yang salah," ujar Fuad.
Oleh sebab itu, Bapepam-LK kini tengah mengkaji untuk sedikit ikut campur dalam mengatur investasi KPD. Salah satu yang akan diatur Bapepam-LK adalah batasan minimal investasinya.
Semula, Bapepam-LK mengusulkan batas minimal investasi KPD sebesar Rp 25 miliar. Namun usulan ini ditolak oleh para MI dalam pertemuan yang digelar dalam rangka sosialisasi peraturan KPD beberapa waktu lalu.
"Dari pertemuan dengan para pelaku pasar (MI), mereka mengusulkan batas minimal KPD antara Rp 5 - 15 miliar," ujar Kabiro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum Bapepam-LK, Robinson Simbolon di kantornya beberapa waktu lalu.
Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) malah mengusulkan angka yang lebih kecil lagi, yakni batasan minimal investasi KPD antara Rp 1 -5 miliar.
"Kalau dari APRDI usulan maksimal RP 5 miliar, paling kecil Rp 1 miliar," ungkap Direktur Utama PT Schroder Invesment Management Indonesia, Michael Tjoajadi yang juga duduk sebagai Ketua Kompartemen Peraturan APRDI di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pekan lalu.
Menurutnya, penetapan angka minimal KPD tersebut didasarkan atas rata-rata kontrak KPD bilateral yang berlaku di Indonesia saat, sebesar Rp 1,8 miliar.
Bapepam-LK hingga saat ini belum menentukan batasan minimal investasi KPD. Namun rencananya, angka pastinya akan ditetapkan bersamaan dengan pengesahan peraturan soal KPD yang akan dirilis Bapepam-LK pada pekan ini.
Nah, bicara soal mana yang lebih aman antara KPD dengan reksa dana, Fuad mengatakan, hal itu sangat tergantung pada karakteristik investornya. Untuk KPD, dengan batasan investasi sebesar itu, tentu saja investor-investornya adalah orang-orang dari kalangan profesional bermodal besar dan institusi.
Sedangkan reksa dana, lebih diperuntukkan bagi investor ritel. Oleh sebab itu, Fuad mengisyaratkan bahwa baik reksa dana maupun KPD memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pilihan berinvestasi di reksa dana atau KPD, lanjut Fuad, sepenuhnya adalah hak investor. Kendati demikian, ia menganjurkan bahwa sebelum memilih sebaiknya investor memahami betul perbedaan di antara keduanya sehingga ia bisa memilih mana yang pas untuk kebutuhan investasi dan profil risikonya, serta bisa menerima implikasi dari keputusan investasi yang dibuatnya.
(dro/qom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar