Selasa, Agustus 03, 2010

BI Yakin Redenominasi Rupiah Takkan Senasib dengan Zimbabwe

Selasa, 03/08/2010 14:57 WIB
BI Yakin Redenominasi Rupiah Takkan Senasib dengan Zimbabwe
Herdaru Purnomo - detikFinance


Jakarta - Bank Indonesia yakin redenominasi rupiah tidak akan mengalami nasib tragis layaknya dolar Zimbabwe. Kegagalan negara Zimbabwe dalam melakukan redenominasi beberapa waktu yang lalu disebabkan oleh tidak terkendalinya tingkat inflasi.

Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, Indonesiatidak akan senasib dengan Zimbabwe soal redenominasi ini karena tingkat inflasi di Indonesia masih sangat terkendali sehingga redenominasi diharapkan berjalan mulus.

"Bahkan tingkat inflasi dalam 2-3 tahun kedepan bisa turun ke 4,5% plus minus 1%," jelas Darmin dalam konferensi persnya di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (03/08/2010).

Menurut Darmin negara yang gagal melakukan redenominasi adalah Zimbabwe. Hal itu terjadi karena tingkat inflasi di Zimbabwe naik dan tidak kredibel sewaktu dilakukannya proses redenominasi.

"Jadi itu dianggap gagal redenominasi di Zimbabwe karena disaat redenominasi inflasi terus membumbung tinggi," jelas Darmin.

Mengenai sanering atau pemotongan nilai tukar rupiah yang pernah terjadi di tahun 1965, Darmin mengatakan bahwa hal itu terjadi karena ledakan inflasi.

"Waktu itu terjadi inflasi yang mencapai 650% per tahunnya. Maka sanering diperlukan pada masa itu," katanya.

Hal tersebut, sambung Darmin jauh berbeda dengan redenominasi yang direncanakan akan dilakukan. "Redenominasi hanya akan berhasil jika inflasi terkendali seperti saat ini," ungkapnya.

Seperti diketahui, BI akan melakukan redenominasi rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.

BI akan mulai melakukan sosialisasi redenominasi hingga 2012 dan dilanjutkan dengan masa transisi. Pada masa transisi digunakan dua rupiah, yakni memakai istilah rupiah lama dan rupiah hasil redenominasi yang disebut rupiah baru.

Misalnya, lanjut Darmin, di toko-toko yang menjual sebuah barang akan tercatat 2 label harga. Yakni dengan rupiah lama dan dengan rupiah baru. Jika nol-nya disederhanakan 3 digit, lanjut Darmin, kalau harga barangnya Rp 10.000 maka akan dibuat dua label yakni Rp 10.000 untuk rupiah lama dan Rp 10 untuk rupiah baru.

(dru/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar