Rabu, Maret 31, 2010

Menyongsong Realisasi Badan Hukum Pendidikan Indonesia

Rabu, 17/02/2010 18:19 WIB
Menyongsong Realisasi Badan Hukum Pendidikan Indonesia
Ryan Alfian Noor - suaraPembaca



Jakarta - Setidaknya telah tercatat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ada 185 buah Rencana Undang-Undang (RUU) yang telah disahkan oleh anggota DPR dalam periode 2004-2009. Termasuk di dalamnya adalah Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

Desas-desus BHP bukanlah sesuatu yang baru lagi. Isu BHP telah menjadi perdebatan panjang selama lima tahun dari tahun 2003-2008 dan mengalami judicial review selama 39 kali berturut-turut di Mahkamah Konstitusi.

Sebenarnya UU BHP merupakan turunan penjelas dari Pasal 53 UU No 20 tahun 2003 yang mengatur Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Indonesia. Adanya pengesahan BHP akan mengubah institusi pendidikan menjadi bentuk Badan Hukum.

Konsekuensi logis yang harus ditanggung adalah sebuah eliminasi peran dan tanggung jawab pemerintah untuk kemudian diserahkan sepenuhnya kepada institusi pendidikan. Agar pendidikan bersifat mandiri.

Di satu sisi sebenarnya ada sebuah semangat positif yang terbangun dengan realisasi BHP. Seperti akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia. Selain itu realisasi adanya BHP membuat institusi pendidikan harus bekerja keras untuk menghasilkan performa terbaiknya dalam pengelolaan akademik, administrasi, finansial, serta profesionalitas kualitas risetnya.

Namun, di sisi lainnya ada beberapa hal yang memicu keresahan berbagai macam pihak enam tahun ke belakang. Realisasi BHP cenderung untuk mengakibatkan adanya upaya liberalisme pendidikan. Salah satu hal yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP.

Sebagaimana tercantum dalam UU BHP pasal 41 tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah. Baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Artinya masih terdapat porsi-porsi di mana institusi pendidikan yang bersangkutan perlu mengusahakan sendiri sumber dana lain dalam memenuhi kemandirian biaya operasional penyelenggaraan pendidikan.

Dari berbagai analisis sebenarnya mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP di luar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja. Namun, juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan perpres).

UU BHP hanya menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Perincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain.

Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal ini tercantum dengan jelas pada pasal 42 ayat 1. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) memang analog dengan sebuah perusahaan go public karena dapat bermain di pasar bursa.

Tentunya kita belum lupa mengenai riskannya bermain di sektor finansial. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Apakah sektor vital seperti pendidikan ini pantas ditopang oleh sumber pendanaan seperti ini.

Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai pasal 45 ayat 1 UU BHP. Namun, tidak ada penjelasan lebih terinci mengenai hal tersebut.

Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP No 48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terinci sumber-sumber dana yang dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing.

Beberapa aturan konstitusional ini membuat posisi institusi pendidikan menjadi kian layaknya menara gading. Hanya orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi tinggilah dapat mengeyam pendidikan di institusi tersebut karena mereka memberikan pendanaan lebih untuk penyelenggaraan pendidikan.

Namun, masih ada angin segar buat masyarakat miskin. UU ini masih menjamin murid pandai yang miskin untuk bisa menikmati bangku di institusi pendidikan tersebut. Sesuai dengan pasal 46 UU BHP tersebut disebutkan bahwa kuota mereka adalah 20 persen kursi perguruan tinggi tiap tahunnya.

BHP kini menjadi sebuah keniscayaan. Enam tahun sudah RUU BHP diperdebatkan dan kini telah mencapai puncaknya menjadi sebuah UU yang disahkan. Lantas yang jadi pertanyaan apakah perjuangan mahasiswa berakhir sampai di sini. Tentu saja perjuangan mahasiswa belum berakhir. Mahasiswa harus menjadi insan terdepan untuk melakukan pengawasan proses realisasi UU BHP ini.

Dengan mengirimkan perwakilan mahasiswanya ke tingkat Majelis Wali Amanat di institusi pendidikannya masing-masing mahasiswa dapat melakukan pengawasan dan terlibat langsung untuk perancangan implementasi UU BHP ini terhadap aturan-aturan konstitusional di dalam kampusnya. Agar tetap berada pada koridor jalur yang benar.

Hal paling mendasar yang harus diawasi adalah masalah proporsi dana penyelenggaraan pendidikan. Karena di sana ada hak masyarakat miskin yang tidak boleh kita abaikan karena hak meraih pendidikan adalah hak semua masyarakat Indonesia. Sesuai yang terkandung pada Pasal 31 UUD 1945.

Namun, bisa jadi jika belakangan analisis visibilitas menyatakan bahwa BHP tidak berpihak pada keadilan pendidikan pada seluruh masyarakat Indonesia maka bukan tidak mungkin ter jadi lagi gerakan massa berhimpun turun lagi ke jalan menyerukan dan menuntut sebuah keadilan dan kebenaran. Bukan untuk apa-apa. Namun, hal ini dilakukan semata-mata untuk mendesak negara kembali ke jalur yang benar. Agar dapat mewujudkan kecerdasan kehidupan bangsa.

Ryan Alfian Noor
Peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS),
Mahasiswa Teknik Perminyakan 2006.



(msh/msh)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar