Waspadai Krisis Global Tahap II
Indro Bagus SU - detikFinance
Ilustrasi (Foto: Reuters)
Sebelum masuk lebih jauh, mari mundur sedikit untuk mengingat-ingat kondisi yang terjadi pada krisis 2007-2008 silam. Adalah produk inovatif bernama Subprime Mortgageyang menjadi penyebab utamanya.
Subprime merupakan kredit pemilikan rumah (KPR) berisiko tinggi yang ditawarkan dengan opsi menarik, setidaknya terlihat seperti itu. Dalam setahun pertama, debitur Subprime tidak dikenakan bunga. Bunga baru dikenakan setelah setahun pertama.
Produk ini merupakan pilihan menarik bagi masyarakat kelas bawah di Amerika Serikat (AS), karena membuat mereka memiliki kesempatan mempunyai rumah sendiri. Saking banyak peminatnya, surat utang KPR bernama Subprime ini pun diperdagangkan di pasar modal dengan berbagai inovasi turunannya.
Hampir semua bank-bank besar di AS dan Eropa menanamkan investasi pada produk ini. Nilai produk Subprime ini tak tanggung-tanggung mencapai US$ 1,5 triliun.
Namun tanpa disangka, begitu setahun pertama berlalu, kejutan datang. Nasabah-nasabah Subprime rupanya banyak yang tidak mampu mencicil pokok berikut bunga yang sudah mulai dikenakan setelah setahun. Alhasil, bank-bank besar di AS dan Eropa dihantui gagal bayar yang tak kepalang tanggung.
Tak cuma AS dan Eropa, dampaknya terasa hampir ke seluruh perekonomian dan pasar modal dunia, termasuk Indonesia. Sebanyak 123 bank di AS pun akhirnya mendaftarkan kebangkrutan. Indeks-indeks bursa saham di seluruh dunia pun mengalami koreksi tajam di atas 50% hanya dalam setahun.
Untungnya, tahun 2009 sentimen positif dan semangat optimisme berhasil mengangkat kembali indeks-indeks bursa saham global dari kejatuhan. Dan tahun 2010, dengan semangat yang sama, diharapkan akan menjadi tahun pemulihan.
Sayangnya, jalan pemulihan dan penyehatan kelihatannya tidak akan berlalu dengan mudah dan mulus. Menurut VP Research & Analys PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere, dunia masih harus melalui krisis global tahap dua.
"Resesi mungkin telah berakhir, tetapi depresi baru mulai. Krisis yang sesungguhnya masih berada di depan kita," ujarnya dalam bincang-bincang dengan detikFinance beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kebanyakan orang terlalu senang dengan euforia pemulihan di 2009, sehingga luput melihat tanda-tanda krisis lanjutan. Nico menjelaskan, Subprime Mortgage mungkin telah berlalu. Namun ia menegaskan, Subprime Mortgage bukan satu-satunya produk KPR berisiko tinggi di AS.
Produk yang dimaksud Nico adalah produk KPR bernama Alt-A dan Option ARM. Dua produk ini kerap dikenal dengan pinjaman Ninja (No Income, No Job and Asset) yang artinya KPR bagi masyarakat yang tidak memiliki pendapatan, pekerjaan dan agunan.
Perbedaannya dengan Subprime adalah Alt-A dan Option ARM memberikan keleluasaan pada nasabahnya dalam membayar cicilan selama 5 tahun pertama. Setelah 5 tahun akan dikenakan penyesuaian bunga secara berkala.
"Setelah 5 tahun, rata-rata kenaikan suku bunga mencapai 80%," ujarnya.
Menurutnya, produk ini juga merupakan bom waktu yang malah dinilainya bisa berdampak lebih besar dari Subprime. Jika nilai Subprime hanya sebesar US$ 1,5 triliun, nilai Alt-A dan Option ARM masing-masing mencapai US$ 2,5 triliun dan US$ 500 miliar. Total nilai dua produk ini mencapai US$ 3 triliun.
"Jadi pasar properti yang sekarang terlihat stabil, tinggal menunggu waktu terjadi penyesuaian bunga KPR yang akan dimulai tahun ini (2010-2011)," ujarnya.
Jika Subprime yang bernilai US$ 1,5 triliun saja sudah membuat dunia amburadul, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ternyata nasabah produk Alt-A dan Option ARM juga tidak bisa mencicil bunganya setelah terjadi penyesuaian bunga yang akan terjadi pertengahan tahun 2010.
Selain itu, Nico juga melihat kredit properti komersial sudah menunjukkan tanda-tanda ambruk. Sebagai catatan, nilai kredit real estate komersial di AS mencapai US$ 3,5 triliun.
"Harga properti komersial turun lebih dari 34% sepanjang 2009. Nasabah yang gagal membayar cicilannya meningkat dari 1% menjadi 9%. Nilai gagal bayar meningkat 423% menjadi US$ 52,7 miliar dari tahun 2008 sebesar US$ 12,5 miliar," papar Nico.
Volume transaksi properti komersial, lanjut Nico, mengalami penurunan tajam dari sebesar US$ 133,2 miliar di 2007 menjadi US$ 4,8 miliar di triwulan I-2009.
"Sekitar 90 ribu properti komersial di AS saat ini tidak dihuni, kosong," ungkap Nico.
Selain itu, tambah Nico, lebih dari 2.600 bank di AS memiliki portofolio pinjaman properti komersial di atas 300% dari batasan risiko yang ditetapkan (risk based capital).
"Oleh karena itu, ratusan bank kecil dan menengah di AS yang telah memberikan pinjaman untuk properti komersial harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kerugian besar yang kemungkinan menggenangi sumber daya mereka," tuturnya.
Nico juga mengatakan kalau sepanjang tahun 2009, bank-bank di seluruh dunia telah melakukan pemutihan utang senilai US$ 1 triliun lantaran meningkatnya gagal bayar. Ia memperkirakan, pemutihan utang yang akan dilakukan bank-bank di dunia selama tahun 2010 akan mencapai US$ 1,5 triliun.
"Pada pertengahan 2010, kerugian bank-bank di AS akan melebihi depresi besar 1929," ujarnya.
Pasar pekerjaan di AS juga dinilai Nico berpotensi meningkat tajam hingga ke level 13%. Menurutnya, saat ini kondisi masyarakat AS sangat buruk.
"1 dari 9 orang AS atau sekitar 39 juta orang, hidupnya bergantung pada Food Stamp (kupon makanan) yang disediakan pemerintah federal," ujarnya.
Kalau sudah begini, imbuhnya, kondisi perekonomian dipastikan akan mendek. Tanpa pekerjaan baru maka tidak ada pendapatan. Tanpa pendapatan, tidak ada pembelian barang dan jasa. Tanpa pembelian, laba perusahaan tidak akan meningkat. Dan akhirnya tidak ada penciptaan lapangan kerja baru.
Peliknya kondisi ekonomi global saat ini, menurut Nico disebabkan karena sistem perekonomian telah mendorong utang terlalu besar, sehingga terjebak pada kondisi kelebihan utang.
Berdasarkan data IMF sebagaimana diungkapkan Nico, utang negara-negara yang tergabung dalam forum G20 diperkirakan bakal meningkat rata-ratanya ke level 118,4% dari total nilai PDB negara-negara anggotanya di 2014.
"Masalah utama perekonomian dunia kini bukan kekurangan uang, tapi kelebihan utang. Masalah utama ekonomi AS adalah pasar properti yang belum pulih, utang pemerintah yang melonjak, pengangguran tinggi, kredit yang tidak mengalir," jelasnya.
Nico juga meramalkan akan munculnya indikator-indikator ekonomi mengecewakan dari negara-negara maju. Kemudian akan bermunculan laporan peningkatan laba bersih perusahaan yang tidak didukung oleh peningkatan penjualan.
Itu berarti peningkatan laba lebih didorong oleh efisiensi bukan oleh peningkatan permintaan di pasar. Daya beli belum meningkat. Selain itu, price to earning ratio (PER) saham-saham di AS telah mencapai 26 kali, level yang dinilai Nico terlampau tinggi.
Atas sejumlah analisisnya tersebut, ia mengimbau pelaku pasar lebih waspada dalam melakukan langkah investasi. Sebab, jika depresi benar terjadi, indeks-indeks bursa di seluruh dunia bakal kembali berjatuhan.
"Dow Jones akan menembus level terendah pada krisis lalu di level 6.469,95. Bisa jatuh dalam kisaran 3.800-5.000. IHSG bisa kembali jatuh ke bawah 2.000 bahkan di bawah 1.000," ujarnya.
Kendati demikian, Nico menyarankan pelaku pasar melakukan penjualan atas setidaknya 50% dari portofolio saham menjadi dana tunai. Sebab dana tunai diperlukan untuk melakukan pembelian ketika harga-harga saham sedang ambruk.
"Selain mengamankan dana, jika market jatuh, bisa melakukan pembelian ketika harga murah. Anda memang tidak memperoleh potensi keuntungan yang maksimal, tetapi anda juga tidak akan merasa tersakiti," ujarnya.
"Dan, tetap selalu ingat bahwa setiap krisis atau bahaya pada kenyataan menawarkan banyak peluang. Sekarang valuasi saham secara internasional masih mahal, tetapi setelah crash berikutnya semua saham kemungkinan besar akan dapat dibeli pada harga yang sungguh menggiurkan," imbuh Nico.
(dro/qom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar