VIVAnews - Di tengah persaingan dagang dengan China, pemerintah tampaknya optimis Indonesia masih unggul dalam hal daya saing industri. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu meyakini daya saing dan iklim usaha di China mulai melemah, sementara Indonesia berpotensi untuk terus memperbaiki daya saing.
"Beberapa tahun belakangan ini, investor kita yang ada di China mengatakan, China tak lagi kompetitif," kata Mari saat Seminar Nasional "Peningkatan Daya Saing dan Kesiapan UKM Menghadapu ACFTA" di Universitas Atmajaya, Jakarta, Rabu, 17 Maret 2010.
Lemahnya daya saing China, menurutnya, karena mata uang yang menguat dan tingginya tingkat UMR dibandingkan Indonesia.
Mari menjelaskan, dalam sepuluh tahun belakangan ini, beberapa industri telah sadar akan bersaing dengan produk China dalam kerangka ACFTA. Kesadaran tersebut, kata dia, disikapi oleh pengusaha Indonesia dengan membangun pabrik di China atau ada juga sebagian yang kemudian beralih menjadi pedagang (trader).
"Daya saing China yang lemah juga terlihat dari kondisi di Guangzho yang krisis pekerja karena sejak Imlek banyak yang tidak kembali dan tetap memilih tinggal di kampung daripada di pabrik," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, beberapa investor Indonesia yang sudah eksis di China juga memilih untuk kembali ke Indonesia karena daya saing China yang sudah tidak kompetitif.
Lebih lanjut Mari membantah bahwa ACFTA telah membawa dampak membanjirnya produk China di pasar Indonesia.
"Impor dari China, sebanyak 90 persen dan mengalami peningkatan terbesar di barang modal, bahan baku, dan barang penolong, yang banyak dibutuhkan UKM kita untuk meningkatkan daya saing karena harganya murah," kata dia.
Namun dia tak menepis beberapa sektor produksi mengalami persaingan yang ketat dengan produk China, diantaranya tekstil dan garmen, mainan anak-anak, dan sepatu.
Selain itu, kata dia, fakta bahwa hanya kurang dari 10 persen impor produk China yang bea masuknya rendah, tidak bisa menjadi alasan utama bahwa ACFTA yang menyebabkan produk lokal tertekan.
Kendati demikian, Mari mengaku, daya saing Indonesia masih belum maksimal dan terkendala masalah klasik. Diantaranya, lahan, logistik, birokrasi, dan tenaga kerja.
"Saya yakin sistem logistik kita baru bisa selesai setelah 20 tahun, kenyataannya biaya transportasi masih sangat tinggi. Misal jeruk dari China lebih murah dibandingkan mengambil dari Kalimantan," ujarnya.
heri.susanto@vivanews.com
http://id.news.yahoo.com/viva/20100317/tbs-mendag-daya-saing-china-turun-indone-4791c3f.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar