Rabu, September 16, 2009

Penjualan Joglo di Jogja

Penjualan Joglo di Jogja Dibiarkan Pemerintah
Bangunan joglo tipe gantung, bangunan tertua di Kota Gede, Jogyakarta. Bangunan ini diperkirakan dibangun tahun 1770-an.

    RABU, 16 SEPTEMBER 2009 | 21:34 WIB
    Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya

    YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah daerah seolah membiarkan penjualan dan pemindahan rumah jawa joglo dari kawasan Kotagede, Yogyakarta. Pemerintah daerah seharusnya berinisiatif membeli, ketimbang benda cagar budaya ini pindah ke luar Yogyakarta.

    M Natsier, Ketua Yayasan Kantil , lembaga pelestarian dan pengembangan seni budaya di Yogya, mengungkapkan hal ini, Rabu (16/9). "Sepanjang pemerintah tak bernisiatif membeli, satu demi satu joglo akan dipindah ke luar Yogyakarta," katanya kecewa.

    Awal September lalu, atau pada minggu pertama bulan Ramadhan, sebuah pendopo beratap joglo di Kampung Trunojayan, Kotagede, Kota Yogyakarta, dijual dan diangkut dari tempatnya. Pendopo itu dibeli warga Kotagede, yang rumahnya hanya 100-an meter dari lokasi awal.

    Joglo berukuran 8 x 8 meter itu dijual dengan harga Rp 100 juta. Sepintas cukup tinggi harganya. Namun jika dikalkulasi, dengan kualitas kayu jati tua kelas satu, nilai uang joglo itu minimal Rp 300 juta. "Tapi dengan kenyataan bahwa joglo itu dibangun tahun 1850-an, nilai sejarahnyalah yang lebih utama," ungkap Natsier.

    Namun yang mengherankannya, si penjual joglo bukan orang yang kondisi ekonominya lemah. Yang menjual itu malah orang kaya, yang ingin membangun rumah. Joglo itu dianggap menganggu. Artinya adalah, penjualan joglo tak semata karena butuh uang.

    Sejak gempa melanda Yogya Mei 2006 lalu, sudah 32 rumah joglo dijual dan dipindahkan. Saat ini, di Kotagede, hanya tersisa 150-an rumah jawa joglo (beratap joglo), dan sekitar 200 pendopo jawa dan rumah jawa beratap limasan. Bangunan-bangunan ini didirikan tahun 1775-1935.

    Sebelum kasus di Trunojayan ini, kasus sebelumnya terjadi Juni lalu. Sebuah pendopo dan dua rumah joglo di Jalan Mondorakan, jalan utama di Kotagede, dijual dan diangkut ke kawasan Puncak, Bogor, untuk keperluan resor perhotelan. Si pemilik yang butuh uang, menjual hanya Rp 380 juta. Padahal nilai kayunya sendiri, diperkirakan Natsier lebih Rp 1 miliar.

    Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta M Sudibyo mengatakan, untuk membeli joglo yang merupakan benda cagar budaya (BCB) ini, pemerintah daerah jelas tidak kuat. "Mau bagaimana lagi. Ini memang dilematis. Tapi dengan harga joglo yang ratusan juta rupiah, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Bantul, dan Pemprov DIY pun merasa berat," ujar Sudibyo.

    Kepala Dinas Pariwisata DIY Tazbir berpendapat senada. "Tapi jika Pemprov DIY punya cukup dana untuk membeli, ketimbang joglo pindah ke luar Yogyakarta, saya rasa itu akan menjadi hal bagus. Kami bisa memanfaatkan joglo-joglo itu untuk kepentingan pariwisata," kata Tazbir.

    http://regional.kompas.com/read/xml/2009/09/16/21341861/Penjualan.Joglo.di.Jogja.Dibiarkan.Pemerintah.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar