SELASA (2/9), Jakarta diguncang gempa untuk kesekian kali. Jakarta sudah akrab dengan gempa sejak sekian abad lalu. Meski catatan gempa yang pernah terjadi di Batavia tak mudah ditemukan, setidaknya ada beberapa catatan sejarah yang sering menyebut tiga gempa hebat yang pernah menggoyang Batavia.
Warta Kota pernah menyebutkan satu di antaranya, yaitu gempa di tahun 1780 dalam kaitan dengan sejarah Observatorium Mohr, observatorium pertama di Batavia pada 1765 yang dibangun Johan Maurits Mohr. Robert H van Gent, dalam makalah berjudul Observations of the 1761 and 1769 Transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies), menyebutkan, pada 1780 gempa bumi mengguncang Batavia dan, salah satunya, memorakporandakan Observatorium Mohr.
Lahan bekas letak observatorium itu kini ada di sebuah gang bernama Gang Torong di Jalan Kemenangan Raya (Petak Sembilan), Jakarta Barat.
Jauh sebelum itu, yaitu pada 4 dan 5 November 1699, ternyata Batavia juga sudah dikoyak gempa yang memorakporandakan kota. Gedung-gedung hancur, sistem persediaan air pun ikut kacau. Willard Hanna dalam bukuHikayat Jakarta menuliskan, gereja yang pernah berlokasi di mana Museum Wayang kini berdiri, juga hancur karena gempa.
Hanna juga mencatat, gempa kala itu diikuti letusan gunung berapi dan hujan abu hingga aliran Sungai Ciliwung penuh lumpur. Catatan gempa besar lainnya di Batavia adalah tahun 1883 ketika Gunung Krakatau meletus. Meski demikian secara tersebar dan tanpa keterangan jelas disebut pula gempa lain di tahun 1833 dan 1903.
Sementara itu kegiatan pengamatan meteorologi pertama di Batavia sudah dilakukan 1 Januari 1758 tapi pengamatan teratur meteorologi dan geofisika dimulai tahun 1866 dengan berdirinya Observatorium Magnet dan Meteorologi (OMM) atau Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatoriu (KMMO).
Dalam buku A History of Science in The Netherlands: Survey, Themes, and Reference, yang diedit oleh van Berkel, van Helden, dan Palm, disebutkan, Pieter Adriaan Bergsma, sarjana di bidang geologi, ditugaskan melakukan penelitian meteorologi dan geomagnetic di Batavia sampai kemudian Bergsma menjadi pimpinan di KMMO. Tugas utamanya melakukan penelitian iklim dan peramalan cuaca jangka panjang untuk usaha pengembangan pertanian khususnya perkebunan milik Belanda di Indonesia.
Dalam perjalanan, nama lembaga itu kemudian berubah-ubah. Di zaman Jepang menjadi Kisho Kauso Kusho dan setelah kemerdekaan lembaga ini dipecah menjadi dua, yaitu Biro Meteorologi di Yogyakarta yang khusus bertugas mengumpulkan informasi untuk kepentingan militer, dan Jawatan Meteorologi dan Geofisika di Jakarta, yang berada di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Perhubungan.
Tugas Jawatan Meteorologi dan Geofisika adalah mengumpulkan informasi meteorologi dan geofisika lainnya. Sejak tahun 1951 Indonesia menjadi anggota World Meteorological Organization (WMO). Pada tahun 1955 Jawatan Meteorologi dan Geofisika berubah statusnya menjadi Lembaga Meteorologi dan Geofisika, dan kemudian pada tahun 1980 menjadi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di bawah Departemen Perhubungan. Kegiatan meteorologi dan geofisika yang pada awalnya hanya terbatas pada pengamatan cuaca atau hujan saja, kemudian meningkat dan mencakup berbagai kegiatan pengamatan medan magnet, seismik, dan meteorologi untuk bermacam-macam keperluan.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar