Sabtu, September 05, 2009

Pendidikan Bencana

Pendidikan Bencana Sangat Minim
Karyawan di Plaza Mandiri, Jakarta, menyelamatkan diri ke lapangan terbuka setelah gempa yang berpusat di Tasikmalaya turut mengguncangkan kawasan ibukota, Rabu (2/9). Gempa berpusat di 140 kilometer barat daya Tasikmalaya berkekuatan 7,3 skala richter. Data sementara hingga kini korban tewas akibat gempa mencapai 25 orang.
    JUMAT, 4 SEPTEMBER 2009 | 20:18 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi di sekolah-sekolah sangat minim. Akibatnya, siswa tidak banyak tahu bagaimana bertindak secara tepat saat menghadapi bencana yang secara tiba-tiba terjadi karena pengetahuan praktis dan pembiasaan yang terbatas.

    S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/9), mengatakan, kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah minim berorientasi pada kehidupan. Pembelajaran di kelas difokuskan pada penguasaan ilmu semata, bukan kemampuan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Dalam kaitan dengan kondisi geografis Indonesia yang rawan gempa dan bencana alam, pengetahuan yang diajarkan kepada siswa sebatas mengenalkan tanpa dibawa lebih jauh untuk mengajak siswa mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Selain itu, siswa juga tidak diajarkan secara rinci mengenai panduan-panduan praktis dan tepat yang mesti mereka lakukan saat bencana terjadi.

    Akibatnya, tiap kali bencana, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran, siswa terbiasa panik. Hal ini bisa mengancam keselamatan. "Pembelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana itu tidak mesti dalam mata pelajaran khusus. Itu bisa diajarkan di mata pelajaran apa saja yang sesuai. Yang penting, siswa diajarkan dengan terus-menerus sehingga mereka paham bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk menghindari bahaya yang lebih serius saat bencana datang. Tidak kalah penting, siswa itu diajarkan benar soal kondisi gerografi dan sosial wilayahnya," ujar Hamid.

    Hari Risnanda, Guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP di Jakarta, mengatakan, pembelajaran soal peringatan dini atauearly warning system menghadapi bencana di buku pelajaran sekolah memang minim. Untuk itu, guru perlu berinisiatif untuk bisa menambah pengetahuan siswa soal prosedur penyelamatan diri yang benar kala bencana tiba.

    "Pembelajaran bagaimana menghadapi bencana biasanya terbatas, pas ada materi pelajaran itu saja. Lagi-lagi itu bergantung gurunya, apa cuma sebatas pengenalan jenis-jenis gempa, atau juga secara rinci menyampaikan panduan bagaimana bersikap saat terjadi gempa," ungkap Hari.

    Loula Maretta dari Green Education mengatakan, sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, kebakaran, hingga kerusuhan. Wilayah Indonesia memang rawan bencana alam. Karena itu, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban jiwa karena bencana.

    Untuk di sekolah-sekolah alam, pembiasaan menghadapi bencana itu selalu dilakukan, baik untuk guru maupun siswa. Sebab, bencana itu bisa terjadi kapan dan di mana saja. "Jika siswa memiliki pengetahuan yang cukup, tahu bagaimana menyelamatkan diri secara tepat, ya mereka bisa tenang saja menghadapi bencana. Sekolah-sekolah kita harus rutin membiasakan kesiapsiagaan itu," kata Loula.


    ELN

    http://www.kompas.com/lipsus092009/gempatasikmalayaread/2009/09/04/20181616/Pendidikan.Bencana.Sangat.Minim

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar