Minggu, September 20, 2009

Jalan Raya Pos, Daendels

Mudik Lewat Jalan "Tuan Besar Guntur"
JUMAT, 18 SEPTEMBER 2009 | 10:43 WIB

Kendaraan melintas di depan patung Pangeran Kornel (kanan) dan Daendels di Jalan Raya Bandung-Cirebon atau lebih dikenal Cadas Pangeran di Desa Cijeruk, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Cerita rakyat yang berkembang dari patung tersebut adalah simbol perlawanan Kanjeng Pangeran Koesoemahdinata IX (Pangeran Kornel), Bupati Sumedang 1791-1828, terhadap Herman Willem Daendels. Pangeran Kornel bersalaman dengan tangan kiri.


TRADISI mudik kembali berulang. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemudik yang memilih naik kendaraan pribadi mulai bisa dilihat di jalan-jalan. Khususnya di malam hari. Mereka mengarah ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Perjalanan para pemudik menggunakan roda dua maupun roda empat melintas Jawa itu mau tak mau, sadar tidak sadar, ingat tidak ingat akan juga melintas di jalur bersejarah bernama Jalan Raya Pos atau nama bekennya Jalan Daendels yang membentang sepanjang 1.000 km dari Anyer sampai Panarukan.

Herman Willem Daendels, gubernur jenderal kala itu, menorehkan sejarah berdarah bangsa Indonesia. Sejarah kerja paksa yang merenggut ribuan bahkan belasan ribu nyawa pahlawan Indonesia yang tak pernah sempat dikenal apalagi dikenang. Pahlawan karena berkat keringat, darah, bahkan nyawa merekalah kita bisa menikmati perjalanan darat dengan kendaraan roda empat, bus, bahkan motor.

Jalan itu sudah dipergunakan sejak 1809 dan menjadi infrastruktur penting bahkan hingga berabad kemudian. Persoalannya, adakah yang masih teringat akan sejarah jalan raya itu, bahkan ketika kita melaju di atas aspalnya? Padahal, boleh jadi, tiap tahun kita menggilas sebagian jalan tersebut dengan suka cita bersama keluarga menjelang hari kemenangan, atau pun menjelang hari natal.

Pramoedya Ananta Toer dalam buku "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels", mengakui, pertama kali mendengar nama jalan itu dari Meneer Guru di sekolah dasar, Instituut Boedi Oetomo (IBO). Sang Tuan Besar Guntur, alias Daendels, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos melalui penjatahan pada para bupati yang kabupatennya dilalui jalan ini. Begitu Meneer Guru itu berkisah ke Pram kecil. Kisah berlanjut, penanggungjawab teknis pengerahan rodi yang tak dapat menyelesaikan jatah yang ditentukan , digantung sampai mati pada dahan pohon sekitar proyek. Para pekerja mati juga karena kelaparan, malaria, dan kelelahan. "Justru di sepanjang Jalan Raya Pos ini terdapat kuburan terluas di Pulau Jawa," tulis Pram.

Jalan Raya Pos Rembang-Lasem digambarkan sebagai jalan yang lebar, bersih, diapit pepohonan asam rindang. Menurut Meneer Guru, pada masanya, Jalan Raya Pos itu termasuk yang terbaik dan terpanjang di dunia. Sama dengan jalan raya Amsterdam-Paris. Namun, tambahnya, adakah yang tahu bahwa pada kenyataannya bukan Daendels yang bikin seluruh jalan itu. Berabad sebelumnya sebagian besar jalanan sudah ada. Daendels hanya memerintahkan para kuli untuk melebarkan jalan sampai tujuh meter. Semua batu untuk peninggian dan pengerasan berasal dari rakyat kecil dan petani karena Daendels mengharuskan mereka harus setor.

Gagasan membangun Jalan Raya Pos muncul dalam benak Daendels dalam perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) ke Semarang dan Oosthoek (Jawa Timur) pada April 1808. Pada 5 Mei 1808, masih dalam perjalanan ini, ia membuat keputusan membuat jalan dari Bogor ke Karangsembung di Cirebon (250 km) dan dari sini ke Pekalongan. Demikian pembikinan Jalan Raya Pos perlahan makin panjang. Jadi, pemudik yang antara lain melintas atau menuju Cianjur, Cimahi, Cirebon, Losari, Tegal, Brebes, Batang, Weleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Juwana, Gresik, Wonokromo, Sidoarjo, Bangil hingga Panarukan ingatlah bahwa roda kendaraan Anda sedang menggelinding di jalanan bikinan bangsa sendiri.

Selamat mudik, selamat menapaktilasi jalanan bersejarah, selamat Idul Fitri mohon maaf lahir batin.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar