Oleh Pangky Febriantanto
Sejak 2003 telah muncul rancangan produk hukum bernama Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau UU BHP. Konsep itu diterapkan pertama kali di beberapa perguruan tinggi negeri antara lain UGM, Ul, ITB, IPB dengan status Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.
Dalam praktiknya, UU BHP mendapat kecaman banyak kalangan mengingat pokok isinya dianggap sebagai upaya lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Pemerintah dapat secara legal memberikan kewenangan kepada institusi pendidikan untuk mengelola dana secara otonom.
Dampaknya, Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) mau tidak mau lalu membiayai proses pembelajaran dengan mandiri. Berbagai upaya dilakukan agar PT BHMN dapat hidup. Salah satunya membuka jalur khusus masuk perguruan tinggi dengan biaya mahal. Selain itu, digandeng pihak swasta dalam penyelenggaraan pendidikan. Ini dirasakan memberatkan masyarakat terutama orangtua dalam membiayai putra-putrinya mengakses pendidikan.
Tidak mengherankan apabila UU BHP yang dinilai menjadi praktik komersialisasi pendidikan mendapat resistensi yang besar dari para pengamat pendidikan, akademisi, sampai mahasiswa. Berbagai alasan logis menolak UU BHP lantang terdengar. Jika dipandang dari aspek hukum, UU BHP jelas inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab membiayai pendidikan anak bangsa kemudian melempar wewenang kepada institusi pendidikan, bahkan swasta. Ditambah lagi, banyak pasal dalam UU BHP yang dipandang bermasalah dan tidak memihak rakyat kebanyakan. Meski mendapat resistensi, UU BHP tetap disahkan melalui UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Ini berarti seluruh perguruan tinggi negeri harus dan wajib menjadi badan hukum. Langkah-langkah perjuangan menolak produk hukum tersebut terus dilakukan mulai dari diskusi, kajian, turun ke jalan, sampai permohonan judicial review.
Perjuangan panjang tersebut tidaklah sia-sia karena pada 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP dengan mencabut UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah Konstitusi menilai UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan melanggar UUD 1945 terutama Pasal 28 D Ayat 1 dan Pasal 31. Setidaknya ada lima alasan Mahkamah Konstitusi mencabut UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
1. UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud, maupun keselarasan dengan UU lain.
2.UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Namun, realitanya kesamaan perguruan tinggi negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama.
3. Pemberian otonomi kepada PTN berakibat beragam. Lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena keterbatasan pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan penyelenggaraan pendidikan terganggu.
4. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat 1 dan Pasal 31 UUD 1945.
5. Prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini tentu disambut hangat dengan keceriaan.
Tantangan baru
Namun, pertanyaan yang timbul dari keputusan tersebut adalah keberlangsungan perguruan tinggi terutama PT BHMN. PT BHMN seperti UGM (Yogyakarta), UI (Jakarta), ITB (Bandung), IPB (Bogor), Undip (Semarang), Unair (Surabaya), USU (Medan), dan UPI (Bandung) yang sudah menerapkan konsep UU BHP kini mendapat tantangan baru. Perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut siap naik status ke Badan Hukum Pendidikan karena sudah sukses melaksanakan konsep BHP dalam bentuk PT BHMN, di tengah jalan status tersebut goyah dengan batalnya UU BHP.
Pertanyaannya, bagaimana pengelolaan dana dan sistem pendidikan di perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut setelah UU BHP dicabut. Sudah sewajarnya apabila perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut patuh akan keputusan Mahkamah Konstitusi ini. Mereka perlu pemikiran yang cerdas mengingat sudah beberapa tahun konsep UU BHP dilaksanakan.
Salah satu contohnya UGM. Perguruan tinggi yang terkenal dengan sebutan kampus nasional, kampus Pancasila, kampus perjuangan, dan kampus kerakyatan tersebut dipertanyakan keberlangsungannya. Keberlangsungan pengelolaan yang beradaptasi dengan batalnya UU BHP. Ini sejalan dengan adanya ketakutan meski UU BHP dibatalkan, praktik otonomi kampus yang bersifat memberatkan mahasiswa masih hidup. Mengingat, mahasiswa adalah agent of change dalam menentukan nasib masa depan bangsa dan negeri tercinta. Sudah harusnya mahasiswa diberi kemudahan dalam proses pembelajaran di kampus.
Selama ini UGM dan tujuh PT BHMN lain mengelola pendanaan dan pendidikan secara mandiri tanpa intervensi kuat dari pemerintah pusat. Kini jika mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi, kebijakan dan pendanaan pendidikan di delapan perguruan tinggi tersebut kembali diatur oleh pemerintah pusat. Contoh konkrit yang akan dihadapi adalah jika akan melakukan penelitian atas nama kampus yang berskala besar. Dana yang dibutuhkan bisa tidak akan dicari dari pihak kampus maupun swasta. Namun, pengelola penelitian tersebut mengajukan permohonan dana kepada pemerintah pusat. Contoh yang lain adalah banyaknya jalur khusus masuk perguruan tinggi yang dinilai komersial kini dapat berubah. Jalur masuk bisa jadi menjadi lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan dan status sosial.
Lalu, bagaimana kesiapan perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut menghadapi tantangantantangan pasta dicabutnya UU BHP? Apa yang akan disiapkan dan program apa saja dalam implementasinya? Mari kita tunggu dan kita kawal pelaksanaannya.
PANGKY FEBRIANTANTO Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, Deputi (Sekjend) Kementerian Aksi dan Propaganda BEM KM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar