Senin, Desember 07, 2009

Ada Apa di Balik Gagal Bayar Wimax?

Senin, 23/11/2009 13:46 WIB

Ada Apa di Balik Gagal Bayar Wimax?
Achmad Rouzni Noor II - detikinet

ilustrasi (quaziefoto/cc)

Jakarta - Dari delapan perusahaan yang memenangkan tender broadband wireless access (BWA), baru tiga perusahaan saja yang telah membayar up front fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi tahun pertama untuk penyelenggaraan Wimax di pita 2,3 GHz.

Perusahaan itu adalah Telkom Indonesia, Indosat Mega Media (IM2) dan disusul First Media. Sementara lima lainnya, Berca Hardayaperkasa, Jasnita Telekomindo, Internux, dan dua perusahaan konsorsium, masih belum memenuhi kewajibannya.

Jika kedua konsorsium masih punya waktu tenggat hingga akhir Januari 2010, tidak demikian dengan tiga perusahaan terakhir. Ketiganya, Berca, Jasnita, dan Internux, terpaksa dikenai denda 2% setiap bulannya. Izin mereka pun bisa terancam dicabut jika tak juga memberi kepastian.

Internux dalam surat tertulisnya kepada Depkominfo, menyatakan bersedia dikenakan denda karena belum mau membayar karena masih belum yakin dengan kesiapan perangkat jaringan Wimax lokal.

Menurut Kepala Pusat Informasi Depkominfo, Gatot S Dewa Broto, alasan itu tak bisa diterima. "Sebab, pemerintah tak mungkin menggelar tender BWA jika Wimax lokal masih belum siap," ujarnya kepada detikINET, Senin (23/11/2009).

Dalam menggelar Wimax di 2,3 GHz, pemerintah menganut versi BWA Nomadic 16.d. Versi ini banyak ditentang para vendor jaringan asing karena dianggap tidak sesuai dengan Wimax Forum yang mengusung BWA Mobile 16.e.

Meski terus ditentang, pemerintah tetap bersikeras memilih 16.d dengan alasan melindungi kesiapan industri dalam negeri.

"Industri dalam negeri yang siap ya versi 16.d. Kalau versi 16.e ya akhirnya impor lagi impor lagi. Kita hanya sebagai penonton hilir mudiknya Capex (belanja modal) perangkat yang besar saja," terang Heru Sutadi, Anggota KRT Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

Walau demikian, keyakinan pemerintah bahwa perangkat Wimax lokal sudah siap ternyata tak sepaham dengan pendapat para pemenang tender BWA.

Salah satu petinggi dari delapan perusahaan pemenang tender tersebut mengungkapkan, bahwa mereka sebelumnya telah membuat kelompok aksi yang dinamakan forum delapan (F8).

Melalui tim F8 ini, para pemenang tender coba melobi pemerintah agar aturan pengkanalan BWA yang saat ini ditetapkan 3,5 MHz dan 7,5 MHz (standar 16.d), kanalisasinya bisa ditambahkan untuk 5 MHz dan 10 MHz (standar Wimax Forum).

Menurut sang petinggi, maksud tujuannya tak lain agar kanal frekuensi di pita 2,3 GHz tidak hanya bisa digunakan untuk Wimax 16.d, tapi juga 16.e.

Namun pemerintah menolak tegas permintaan itu melalui surat yang ditandatangani Direktur Frekuensi Ditjen Postel Tulus Rahardjo. Meski demikian, tim F8 tetap akan mencoba lagi usulan tersebut setelah lisensi BWA mereka kuasai.

"Namun sayangnya F8 tidak kompak. Itu sebabnya belum pada mau bayar. Padahal harusnya bayar dulu, baru setelah lisensi kita pegang, kita sampaikan lagi usulan itu," sesal sang eksekutif yang tak mau namanya disebut.

Meski sejak awal telah membaca muara dari resistensi tersebut, pemerintah tetap berkeyakinan para pemenang tender akan memegang komitmen awal sesuai mekanisme yang ditetapkan.

"Kami masih berpikir positif bahwa urusan ini akan dapat diselesaikan," tandas Heru.

( rou / wsh )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar